Lintaskepri.com, Tanjungpinang – Debat perdana Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tanjungpinang yang berlangsung pada Minggu, 10 Oktober 2024, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Di media sosial, perdebatan terkait gagasan yang disampaikan oleh masing-masing pasangan calon ramai dibahas oleh publik.
Pengamat politik, Robby Patria, turut memberikan pandangannya. Ia menilai, debat yang diinisiasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tanjungpinang perlu dievaluasi, terutama terkait tema yang diangkat.
“Temanya memang visioner dan bagus, tetapi belum relevan untuk Pilkada 2024 ini. Temanya terlalu tinggi, seperti ‘blue economy’ dan ‘smart city’. Harusnya lebih membumi,” ujar Robby.
Robby menjelaskan, konsep “blue economy” tidak cocok diterapkan di Tanjungpinang karena potensi ekonomi kota ini tidak terletak pada sektor kelautan.
Menurutnya, konsep tersebut lebih tepat diterapkan di tingkat Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang 96 persen wilayahnya terdiri dari lautan, sementara Tanjungpinang memiliki wilayah laut yang terbatas.
“Kalau Kepri, mungkin cocok. Tapi Tanjungpinang lautnya terbatas, jadi apa yang bisa dimanfaatkan dengan sedikitnya wilayah laut?” tanyanya.
Terkait tema “smart city”, Robby juga mempertanyakan sejauh mana visi dan misi pasangan calon dalam membangun kota pintar di Tanjungpinang.
Menurutnya, konsep smart city tidak hanya soal digitalisasi di beberapa bidang, tetapi juga mencakup seluruh aspek konektivitas di kota yang harus terhubung dengan baik, seperti transportasi umum dan akses ke daerah terpencil.
“Saat ini, transportasi umum di Tanjungpinang belum terhubung dengan baik. Bahkan bus dari Pamedan ke pusat pemerintahan saja tidak ada. Padahal, ini yang seharusnya menjadi fokus gagasan para calon jika mereka ingin membangun kota pintar,” jelasnya.
Selain itu, Robby juga menilai kurangnya fasilitas seperti hotspot publik dan jaringan Wi-Fi gratis yang belum merata.
Ia menekankan, konsep kota pintar sangat luas dan seharusnya bisa dijelaskan lebih dalam oleh calon pemimpin. Robby juga menilai bahwa panelis yang dihadirkan dalam debat tidak sesuai kapasitas dan kurang memahami tema yang diangkat.
Ia mencontohkan tema kebudayaan yang dibahas tanpa melibatkan budayawan atau perwakilan Lembaga Adat Melayu (LAM) sebagai panelis.
“Apakah ada budayawan atau perwakilan LAM yang diundang sebagai panelis? Kan tidak ada. Ini harus menjadi catatan bagi penyelenggara,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Robby berharap agar KPU lebih selektif dalam memilih panelis yang kompeten dan menguasai tema debat pada kesempatan berikutnya.
Sehingga, debat bisa berjalan lebih terarah dan memberikan pandangan yang lebih jelas kepada masyarakat.
“Mudah-mudahan debat kedua nanti semakin bagus,” pungkasnya. (Mfz)
Editor: Ism