Lintaskepri.com, Tanjungpinang – Pemerintah membuka kembali kebijakan ekspor pasir laut setelah 20 tahun sempat ditutup. Kebijakan ini menuai kontroversi, sebab dampaknya dapat merusak ekosistem laut.
Langkah ini menuai penolakan dari berbagai kalangan, terutama aktivis lingkungan, seperti WALHI, masyarakat, dan mahasiswa yang khawatir akan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Di sisi lain, pemerintah berdalih kebijakan ini bertujuan untuk menarik investasi di sektor kemaritiman dan mendukung reklamasi untuk pembangunan infrastruktur di kawasan pesisir.
Regulasi hukum yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Akademisi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Arief Pratomo, menuturkan meskipun pemerintah beralasan bahwa kebijakan eksplorasi pasir laut ini telah melalui kajian mendalam dan dampaknya yang minim.
Namun, pandangan tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah. Masyarakak harus memiliki pandangan kritis, sebab yang menerima dampak buruknya adalah masyarakat sendiri.
“Ini yang harus kita perhatikan, karena realitas di lapangan tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan,” ungkap Arief kepada Lintas Kepri (17/9/2024).
Arief juga mengingatkan, dampak krusial, seperti kekeruhan dan perubahan dinamika perairan serta degradasi dasar laut, dapat memicu fenomena alam yang lebih serius jika tidak ditangani dengan benar.
Selain itu, eksplorasi pasir bisa mempengaruhi alur pelayaran dan kehidupan ekosistem, termasuk ikan dan terumbu karang yang menjadi sumber penghidupan nelayan tradisional.
Kendati demikian, ia melanjutkan, sisi positif dari pembukaan ekspor pasir ini membuka peluang nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.
Namun, di sisi lain Pemerintah juga harus melihat dampak yang telah terjadi 20 tahun lalu ketika terjadi konflik dan penolakan khusunya yang tinggal dikawasan penambangan pasir.
“Kan dulu itu yang bikin ribut salah satunya menimbulkan abrasi di pulau-pulau bekas pengerukan, yang menyebabkan pulau-pulau menjadi tenggelam akibat pengerukan yang terlalu dalam,” jelasnya.
Disamping itu, Arief berpendapat, para investor yang telah memenuhi syarat untuk menambang pasir laut dinilai cenderung tidak memikirkan dampak jangka panjang dari aktivitas mereka. Fokus utama mereka adalah investasi, balik modal, dan keuntungan dari eksploitasi pasir yang dilakukan.
Ia menekankan, perlunya regulasi yang kuat untuk memastikan bahwa investor tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan bisnisnya.
Sehingga apa yang di sampaikan Pemerintah bisa di terima oleh masyarakat, sesuai dan berjalan berdasarkan aturan dan kajian yang telah berjalan.
Dia menambahkan sebelum penambangan terjadi, para pelaku usaha wisata, nelayan dan elemen masyarakat terkait sudah dahulu memikirkan dampak luas akibat pengerukan.
“Selama ini mereka sudah merasakan manfaat dari laut sendiri, namun apabila pengerukan terjadi pastinya akan mengalami kerugian yang sangat besar bagi pelaku usaha ini,” ungkapnya.
Oleh karena itu ia berharap Pemerintah harus berdiri di tengah tengah antara investor dan elemen masyarakat agar konflik yang tidak diinginkan tidak kembali terjadi.
“Artinya pemanfaatan peluang investasi terus berjalan sembari memberikan edukasi dan menjamin rasa aman bagi pihak pihak yang bisa dirugikan, dan pastinya memberikan hak hak nelayan serta pelaku usaha wisata itu tadi sesuai aturan undang undang yang berlaku,” sambungnya.
Kebijakan Ekspor Pasir: Pisau Bermata Dua
Sementara itu, Legislator Kepri, Rudi Chua, menyebut kebijakan ekspor pasir laut sebagai “pisau bermata dua.” Menurutnya, kebijakan ini memang membawa potensi keuntungan ekonomi yang besar, namun di sisi lain akan berdampak buruk pada ekosistem laut.
“Pendapatan ekonomi pasti akan meningkat dan mendorong pembangunan di Kepri. Namun, dampaknya terhadap nelayan tradisional juga harus menjadi perhatian,” kata Rudi.
Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah meningkatnya harga ikan di pasar, karena nelayan akan semakin sulit menangkap ikan akibat pencemaran laut yang disebabkan oleh pengerukan.
Selain itu, populasi ikan akan menurun, terumbu karang rusak, dan pulau-pulau berisiko mengalami abrasi.
“Dampak pencemaran laut akan sangat besar bagi keseimbangan antara manusia dan alam. Ini yang harus dipertimbangkan bersama,” pungkas Rudi. (Mfz)
Editor: Ism