JERMAN, Lintaskepri.com – Empat hari kerja dalam sepekan dengan gaji penuh dikritik sebagai sebagai pemborosan, terutama ketika Jerman sedang mengalami kelangkaan tenaga kerja.
Tapi mulai bulan Februari ini, sebanyak 45 perusahaan di Jerman memberlakukan empat hari kerja tanpa pengurangan gaji untuk masa uji coba selama 6 bulan. Konsep ini dikembangkan oleh lembaga konsultan “Intraprenör” bekerja sama dengan organisasi “4 Day Week Global (4DWG)”. Pengurangan jam kerja diyakini justru akan menambah produktivitas pegawai.
Menurut 4DWG, saat ini konsep empat hari kerja sudah diujicobakan di berbagai negara, antara lain Inggris, Afrika Selatan, Australia, Irlandia dan Amerika Serikat. Sebanyak 500 perusahaan ikut terlibat. Hasilnya, menegaskan efek positif yang diharapkan, karena pegawai cenderung bekerja lebih produktif di waktu yang tersedia.
Keberhasilan uji coba di Inggris
Di Inggris, sebanyak 2.900 orang pegawai dilibatkan dalam eksperimen ini. Mereka bekerja di sektor keuangan, teknologi informasi, konstruksi, toko online, studio animasi, marketing, dan kedai makanan.
Menurut gabungan peneliti dari Universitas Boston dan Cambridge, jumlah kasus absen karena alasan sakit berkurang sebanyak lebih 30 persen, dan 40 persen pegawai mengklaim berkurangnya rasa stres ketimbang bekerja selama lima hari. Kasus pengunduran diri pegawai juga berkurang sebanyak 57 persen. Secara umum, para peneliti mengamati adanya kenaikan omset perusahaan sebesar 1,4 persen melalui perbaikan dalam efisiensi dan produktivitas kerja.
Sebanyak 56 dari 61 perusahaan tercatat meneruskan kebijakan empat hari kerja setelah berakhirnya fase uji coba.
Keberhasilan di Inggris turut menginspirasi kelas pekerja di Jerman. Menurut jajak pendapat Hans-Böckler-Stiftung, sebanyak tiga perempat tenaga kerja profesional mendukung pengurangan jam kerja dengan tetap memberikan gaji penuh. Hanya sekitar 17 persen responden bersikap sebaliknya, menolak pengurangan jam kerja.
Lemahnya keragaman data riset
Namun begitu, sejumlah ekonom meragukan keabsahan studi oleh Intraprenör dan 4DWG lantaran minimnya data. Peneliti pasar tenaga kerja, Enzo Weber dari Universitas Regensburg, misalnya, menilai perusahaan yang terlibat eksperimen itu, kebanyakan sudah menerapkan konsep tersebut secara positif. Artinya, data yang terkumpul tidak mencerminkan spektrum perekonomian secara utuh.
Selain itu, pengurangan jam kerja dengan beban yang semakin bertambah justru akan meningkatkan intensitas kerja bagi masing-masing pegawai. Kondisi ini dikhawatirkan bisa memaksa pegawai mengabaikan elemen sosial, komunikatif dan kreatif. “Dampaknya tidak akan dirasakan dalam waktu dekat oleh perusahaan, melainkan jangka menengah,” kata dia. Studi di Inggris sendiri berlangsung hanya selama enam bulan.
Konsep empat hari kerja juga dianggap kontraproduktif di Jerman oleh ekonom di Institut Perekonomian Jerman (IW), Holger Schäfer. “Apa yang terlihat masuk akal dalam sebuah konteks bisnis tertentu, akan kehilangan relevansi dalam sudut pandang ekonomi yang lebih luas. Artinya, jika semua perusahaan memangkas jam kerja, hasilnya malahan adalah defisit kapasitas produksi,” kata dia.
Selain itu, belum ada bukti valid bahwa pengurangan jam kerja akan meningkatkan produktivitas kerja, kata dia. “Konsep empat hari kerja memangkas 20 persen jam kerja. Untuk membayarnya, tingkat produktivitas per jam kerja harus ditingkatkan sebanyak 25 persen. Ini sesuatu yang utopis,” imbuh Schäfer.
Solusi individual tanpa intervensi negara?
Namun demikian, konsep empat hari kerja tetap dipandang menguntungkan di sejumlah sektor, seperti pertukangan. Jörg Dittrich, Presiden Asosiasi Sentral Pertukangan Jerman, meyakini perusahaan akan mampu meningkatkan daya tarik dalam bersaing mencari tenaga kerja berkualitas. Tapi dia pun harus mengakui, konsep ini tidak bisa diharapkan akan berdampak serupa di semua perusahaan.
Enzo Weber dari Universitas Regensburg sebaliknya mendukung solusi individual yang disesuaikan oleh masing-masing perusahaan. “Gagasan ini didukung asosiasi perusahaan menengah Jerman, yang menolak campur tangan negara dan memilih mencari solusi untuk masing-masing industri,” kata Christoph Ahlhaus, Presiden Asosiasi Perekonomian Menengah Jerman.
Di tengah perdebatan soal konsep empat hari kerja dalam seminggu, serikat buruh logam Jerman IG Metall sebenarnya sudah sejak lama menuntut pengurangan jam kerja. Hasilnya, saat ini pun sebagian perusahaan di sektor logam sudah menerapkan 35 jam kerja per pekan untuk para pegawainya. (Dw)
Editor: Mfz