Opini  

Aroma Tidak Sedap Demokrasi Tercium Dalam Kotak Kosong Pilkada

Muhammad Faiz
Aroma Tidak Sedap Demokrasi Tercium Dalam Kotak Kosong Pilkada
Okta Alamsyah, Mahasiswa STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang. Foto: Dokumen pribadi

Memulai dengan meminjam kata-kata Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika ke-32, yang mengatakan bahwa dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan.

Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh bahwa itu direncanakan seperti itu.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 akan berlangsung serentak di 38 provinsi dan 515 kabupaten/kota di Indonesia beberapa bulan lagi.

Namun, warna-warni dan wacana mulai dipertontonkan dan dibicarakan.

Antusias masyarakat menanti pesta demokrasi lima tahunan ini disambut dengan berbagai motif.

Ada yang berharap lahirnya pemimpin baru dengan gagasan besar untuk membangun daerah. Ada juga yang ingin melanjutkan kepemimpinan sebelumnya.

Dan ada pula yang mengikuti Pilkada sekadar bergembira tanpa harapan besar. Namun, harapan-harapan ini sering kali berakhir dengan “kekecewaan”.

Saya menggunakan tanda kutip pada kata kekecewaan karena munculnya fenomena atau isu melawan Kotak Kosong.

Istilah Kotak Kosong ini digunakan untuk menyebut munculnya calon tunggal yang tidak memiliki lawan dalam kontestasi Pilkada.

Sehingga, dalam surat suara, posisi lawan berbentuk kotak kosong. Tentu saja, dalam negara demokrasi, Kotak Kosong ini sah dan tidak melanggar undang-undang.

Namun, munculnya calon tunggal tentu tidak baik bagi demokrasi pada tingkat daerah. Sebab rakyat hanya dihadapkan pada pilihan untuk memilih atau tidak memilih calon tersebut.

Dampak lain dari calon tunggal melawan Kotak Kosong adalah menurunnya angka partisipasi pemilih, salah satunya karena pemilih apatis yang tidak memiliki pilihan calon yang akan dipilih.

Toh, tidak mungkin juga di setiap daerah hanya ada satu orang yang dianggap memiliki kapasitas untuk menjadi kepala daerah?

Fenomena Kotak Kosong ini mencerminkan kegagalan sistem demokrasi kita yang sejatinya menghadirkan pilihan beragam bagi masyarakat dalam pemilihan umum.

Demokrasi mestinya dipahami bukan hanya sebagai prosedur, melainkan sebuah sistem yang menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil.

Dengan dihadapkannya masyarakat dengan Kotak Kosong, secara tidak langsung alternatif pilihan hilang.

Dengan demikian, masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk memilih berdasarkan penilaian yang adil dan berdasarkan hati nurani juga sudut pandang.

Terlepas dari hal tersebut, tentunya masih banyak pertanyaan dan asumsi yang timbul dari kita. Apakah ini merupakan upaya permainan penguasa dan elit partai politik untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara terselubung?

Penulis berpandangan bahwa Pilkada adalah wadah demokrasi untuk beradu visi dan misi calon kepala daerah serta program yang dapat dianalisis oleh masyarakat untuk memilih nantinya.

Pilkada juga seharusnya memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon kepala daerah yang terbaik.

Partai politik memainkan peran penting dalam kontestasi Pilkada ini sebagai penentu sebuah sistem demokrasi dan menjadi pilar utama dalam sistem politik yang sehat ke depannya.

Munculnya wacana Kotak Kosong ini menunjukkan adanya indikasi kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi serta hilangnya kepercayaan dan elektabilitas di mata masyarakat.

Sebelum keadaan menjadi lebih buruk, langkah antisipasi dalam bentuk perbaikan peraturan lebih baik diambil.

Tanpa langkah serius ini, konsekuensi terburuk yang dapat terjadi adalah Pilkada serentak tahun 2024.

Sehingga Pesta demokrasi tahun-tahun mendatang akan berisi mayoritas calon pasangan tunggal berhadapan dengan Kotak Kosong. Maka, demokrasi kita pun akan mati pelan-pelan.**

Penulis: Okta Alamsyah, Mahasiswa STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang

 

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *