Lintaskepri.com, Tanjungpinang – Suku Laut yang merupakan komunitas pribumi atau indigenous people yang mendiami wilayah perairan Provinsi Kepulauan Riau, berdasarkan pendataan Departemen Sosial (Depsos) RI 1988, sekira 11,23% telah terkonsentrasi berada di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Riau, yang dimana sebagian besar berada di sekitaran laut Selat Malaka, Selat Philip, Batam, Lingga, Bintan, Karimun, hingga Laut Natuna Utara.
Disebut sebagai Pengembara Lautan (Sea Nomads) dikarenakan keberadaannya yang hidup nomaden (mengembara) dengan melakukan seluruh aktifitas hidup dan tinggal di sebuah perahu atau sampan yang beratapkan sebuah Kajang sebagai pelindung dari teriknya matahari dan hujan.
Hal ini juga mengingat bahwa sejak tahun 2002 Kepulauan Riau sebagai wilayah strategis yang berada di daerah perbatasan negara tumbuh menjadi Pusat Pemerintahan Provinsi, dengan pesatnya Industri, perdagangan, galangan kapal, Pertanian, Kelautan dan Pariwisata yang mempunyai otoritas pengembangan subjektif terhadap tumbuh pesatnya wilayah Provinsi Kepulauan Riau.
Yang terjadi pada komunitas Suku Laut di Kepulauan Riau terkait aspek budaya saat ini adalah mulai pudarnya budaya tradisi dalam hal ini kesenian diantaranya Silat, Jong, dan Joget yang semula melembaga dalam kehidupan mereka sebagai media hiburan tempat warga melepas lelah setelah seharian berada di laut mencari tangkapan ikan.
Kehidupan yang harus dijalani komunitas Suku Laut terutama setelah penempatan mereka di wilayah Provinsi Kepulauan Riau tentu mengalami berbagai persoalan baik dari segi ekonomi, sosial, kesehatan, maupun pendidikan, hingga hidup yang penuh dengan pengembaraan di Laut Kepulauan Riau.
Suku laut merupakan bangsa yang maju (Neolithicum) bagian dari kelompok etnis (indigenous People) sebagai penduduk asli yang menempati wilayah perairan Kepulauan Riau mampu bertahan hidup selama berabad-abad lamanya dengan nilai-nilai tradisi yang diwariskan leluhur secara turun-temurun dan melekat pada kehidupan sehari-hari.
Menjaga keselamatan jiwa keluarga agar bisa terhindar dari bahaya keganasan cuaca laut, serta kondisi tubuh yang mulai beradaptasi dengan lingkungan darat sehingga tubuh akan mulai merasa sakit jika dalam waktu yang lama berada di lautan.
Baca juga :
Jelajahi Perairan Kepri Bersama Kapal Pinisi
Pelibatan tradisi budaya komunitas dapat memperkuat budaya pribumi/asli yang secara efektif membantu mereka untuk memiliki kendali nyata terhadap masyarakat mereka sendiri.
Partisipasi budaya juga sebagai cara penting untuk membangun modal sosial, memperkuat masyarakat, dan menegaskan identitas mereka sebagai warga negara yang memiliki hak dalam hidup.
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran digital lintaskepri.com menunjukkan bahwa Suku Laut cenderung untuk memilih hidup stabil secara permanen di permukiman dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya yang mereka jalani.
Dibalik pesatnya pertubuhan zaman dari sektor Global, Suku Laut memiliki kecenderungan pilihan hidup yang stabil di permukiman diantaranya adalah terwujudnya keinginan komunitas suku laut ini untuk mempersiapkan masa depan generasi penerus mereka terutama melalui pendidikan formal dan kehidupan yang layak.
Baca juga :
Kadis DPKP Kepri: Pembangunan Rumah Suku Laut Lingga Terhambat Faktor Cuaca dan SDM
Pesatnya pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau tentu saja membawa pengaruh terhadap keberlangsungan hidup Suku Laut, tak terkecuali dengan gagasan program pembangunan oleh Departemen Sosial RI terutama sejak tahun 1989 dengan penempatan mereka pada permukiman yang juga melibatkan unsur masyarakat setempat untuk turut serta dalam menggalahkan program pemerataan sosial tersebut.
Hidup sebagai pengembara di Laut tentu saja mempunyai resiko hidup yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa jika tiba-tiba cuaca buruk datang, disamping minimnya keterjangkauan akan pelayanan sosial yang harusnya mereka dapatkan sebagai warga negara diantaranya pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang berhak mereka dapati sebagai Warga Negara Indonesia.(Fry)
Editor: Fry