Lintaskepri.com, Jakarta – Lebaran idul fitri menjadi hal yang ditunggu tunggu bagi seluruh umat muslim dunia, karena banyak kerabat jauh datang bertamu dan bersilahturahmi.
Selain beramah tamah, tentunya pasti selalu muncul pertanyaan yang sangat beragam seperti pekerjaan, kuliah, hingga kapan menikah sering terjadi pada orang dewasa baik itu perempuan maupun laki laki.
Namun banyak sebagian orang merasa risih dengan pertanyaan kerabat yang sangat menganggu dan menjadi beban bagi mereka yang tidak biasa mendengar ucapan tersebut. Tetapi ada juga yang sudah terbiasa dan menjadikan pertanyaan itu hanya sebagai angin lalu dan lelucon sesaat.
Dalam video yang diunggah akun @justian24, menekankan bahwa anggota keluarga bisa dipidana jika mengeluarkan ujaran yang bernada penghinaan ringan seperti penggunaan kata “perawan tua.” pada orang dewasa yang belum kunjung melaksanakan pernikahan, Ia mengacu pada Pasal 315 KUHP lama dan Pasal 436 KUHP baru.
Mengutip Tirto, Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Affandi, membenarkan bahwa publik bisa dipidana jika mengeluarkan pernyataan yang bersifat penghinaan ringan. Umumnya, warga bisa dipidana ketika pernyataan saat lebaran mengarah pada bullying seperti penggunaan frasa “dasar perawan tua.”
“Kalau itu nadanya bullying, itu masuk delik. Jadi intinya penghinaan ringan itu untuk melindungi korban bullying,” kata Fachrizal, Selasa (26/3/2024).
Fachrizal membenarkan bahwa Pasal 315 KUHP lama maupun Pasal 436 KUHP baru bisa digunakan untuk pelaporan. Hukuman pun berlaku kurang dari 5 tahun.
Namun, kata Fachrizal, pasal tersebut adalah pasal delik aduan. Alhasil, korban harus melapor ke kepolisian jika ingin diproses secara hukum.
Ia mengatakan, pasal itu memang rentan menjadi pasal karet. Akan tetapi, keberadaan pasal itu untuk melindungi korban bullying sehingga tidak semua bisa langsung ditindak.
“Intinya pasal itu untuk melindungi korban bullying. Memang terganggu, tapi enggak semua bisa jadi pidana. Kalau cuma kapan nikah, itu enggak bisa dipidana, tapi kalau kapan nikah kemudian mengarah intinya korbannya dipermalukan apalagi waktu itu sampai stres. Tidak hanya itu. Kapan punya anak juga bisa. Mandul kamu ya?” tutur Fachrizal.
Menurut Fachrizal, masalah penghinaan ringan terjadi akibat pemilihan diksi yang bersifat penghinaan. Masalah ini rerata berujung mediasi dan keadilan restoratif. Fachrizal juga menyarankan agar masalah seperti ini diselesaikan secara baik-baik agar tidak diproses hukum lebih jauh.
“Intinya begini, kalau karena ini viral, kalau memang begitu, kalau misalkan Anda sudah terlanjur melakukan itu dan ternyata orangnya tersinggung, segera minta maaf, gitu aja. Daripada kemudian dilaporkan polisi. Ini praktiknya polisi belum tentu mau menangani kan? Karena ini pidana ringan dan pelakunya tidak bisa ditahan. Beda dengan Undang-Undang ITE, ITE ancaman 5 tahun. Bisa ditahan,” kata Fachrizal.
Fachrizal menambahkan, “Jadi intinya tanya saja enggak apa-apa, tapi jangan kemudian sampai membuat orang itu tersinggung. Kalau tersinggung segera minta maaf. Itu norma. Enggak semua masalah harus diselesaikan dengan pidana,” tutur Fachrizal.
Sementara itu, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) salah satu lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hukum dan masyarakat, Parasurama Pamungkas, menjelaskan soal penghinaan dalam KUHP.
Ia menekankan penghinaan dalam KUHP mengatur sejumlah ancaman hukum sesuai perbuatan yang dilakukan.
“Artinya sejak awal, rumpun pasal penghinaan di KUHP memperhatikan proporsionalitas. Oleh karena itu penggunaan pasal penghinaan ringan tidak bisa dilakukan secara serampangan seperti itu, karena setiap penghinaan dalam pengertian Pasal 315 sebenarnya bersifat sosiologis, perbuatan tersebut musti tetap dilihat konteksnya, misal tempat, waktu, keadaan, dan pendapat umum di tempat kejadian,” kata Parasurama, Selasa (26/3/2024).
Parasurama menuturkan, aparat harus melihat secara proporsional antara perbuatan dan akibat yang dihasilkan ketika menggunakan pasal penghinaan ringan. Hal ini penting agar tidak semua perbuatan yang dianggap memenuhi delik diproses secara hukum.
“Apalagi pengembangan hukum pidana belakangan ini di Indonesia mengarah pada semangat restorative justice, yang mana salah satu bentuknya adalah mediasi penal. itu bisa dilakukan juga pada praktiknya oleh kepolisian,” kata Parasurama.
Parasurama tidak memungkiri konstruksi pasal penghinaan di negara-negara yang masih membuka ruang kriminalisasi. Ia mengatakan kriminalisasi kejahatan jenis ini akan selalu bergantung pada perasaan subjektif seseorang. Alhasil, penerapan pasal tetap membuka ruang yang besar untuk memidanakan orang lain.
Namun di sisi lain, kata dia, gradasi 6 jenis penghinaan di dalam KUHP juga perlu dipertahankan ketimbang menggunakan jenis penghinaan yang ada di UU ITE. Sebab dengan adanya gradasi, penerapan pasal penghinaan harapannya akan selalu melihat proporsionalitas.
“Sehingga tidaklah tepat jika misal orang meludahi orang lain diancam pakai pencemaran nama baik dengan ancaman yang tinggi, ia cukup pakai penghinaan ringan,” kata Parasurama. (*)
Editor: Mfz