Lintaskepri.com, Jakarta – Pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen yang mulai diterapkan pada Januari 2025.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut kenaikan tersebut secara langsung berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
“Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor,” ucap Bhima kepada Tirto, Rabu (13/3/2024).
Mengutip Tirto, Menurutnya kelas menengah akan terdampak paling serius terhadap penerapan PPN 12 persen. Hal ini dilihat dari faktor lain yang memperburuk keadaan seperti kenaikan harga pangan terutama beras, suku bunga tinggi, dan sulit mencari pekerjaan.
Kenaikan tarif PPN juga dikhawatirkan menurunkan tingkat belanja masyarakat, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik atau skincare bisa melambat.
Imbas lain, menurut Bhima, pelaku usaha akan berusaha menyesuaikan harga akibat naiknya tarif PPN, hal ini menimbulkan efek domino ke omzet dan pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.
“Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12 persen karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga,” imbuhnya.
Dibanding menaikkan PPN hingga 12 persen, Bhima berpendapat seharusnya lebih difokuskan pada pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax), dan penerapan pajak karbon.
Senada dengan Bhima, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menjelaskan kenaikan tarif PPN setidaknya akan berimbas pada minat ekspansi usaha yang berkurang, juga berakibat kepada berkurangnya penyerapan tenaga kerja baru.
“Kemungkinan besar laju konsumsi akan semakin melambat akibat kebijakan ini. Hal ini karena saat ini saja daya beli sudah tertekan oleh kenaikan harga bahan pokok. Terlebih lagi di tahun depan yang diperkirakan ekonomi belum akan tumbuh tinggi,” ucap Eko.
Secara terpisah, menurut Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, kenaikan PPN akan berdampak langsung pada kenaikan harga barang lantaran biaya yang harus ditanggung lebih banyak dari proses aktivitas barang ketika dijual melalui penarikan PPN.
“Kita juga menyaksikan ketika pemerintah melakukan penyesuaian tarif PPN di 2022 yang lalu, terjadi kenaikan inflasi yang relatif signifikan, yang saat itu disumbang dari kebijakan tarif baru PPN dan kenaikan permintaan barang dan jasa ketika bulan Ramadhan,” ujarnya.
Yusuf menggarisbawahi bahwa yang perlu diantisipasi adalah bagaimana respons pelaku usaha dan juga pedagang retail dalam menerapkan tarif baru PPN 12 persen. (*)
Editor: Mfz