Lintaskepri.com, Jakarta – Pemilihan umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden serta para calon legislatif (caleg) dari DPD, DPRD, dan DPR Republik Indonesia terlaksana sudah. Yang tersisa? Ribuan baliho serta spanduk alat peraga kampanye (APK) yang sebelumnya ramai terpasang sepanjang jalan-jalan protokol di berbagai kota.
Berdasar data KPU, setidaknya ada 9.917 caleg yang memperebutkan 20.462 kursi. Belum lagi, satu caleg tak cuma pasang satu alat peraga kampanye, bisa jadi ribuan. Jadi, bayangkan jumlah APK yang terpasang di berbagai tempat?
Banyak warga mengeluh kotornya kota saat ‘ketempelan’ APK di seluruh sudut tiang, tembok, pagar, bahkan sampai pohon. Kini, masalah kotor mungkin sudah teratasi, tapi bagaimana dengan nasib sampah APK itu?
Sayangnya, banyak yang seolah bersikap: usai kampanye, usailah kewajiban mereka, dan tak peduli dengan sampah APK yang ditimbulkan. Padahal dalam Surat Edaran (SE Edaran (SE) Menteri LHK Nomor 3 tahun 2024 tentang Pengelolaan Sampah yang Timbul dari Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup menyebut bahwa
“Setiap orang yang menghasilkan sampah yang timbul dari kegiatan termasuk kampanye wajib melakukan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah.”
Dalam surat edaran itu juga disebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali Kota harus memastikan agar:
“…. Dengan memastikan bahwa seluruh peserta Pemilu melakukan pemilahan sampah, membuang sampah pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan serta tidak melakukan pembakaran sampah dari bahan dan alat peraga kampanye.”
Sayangnya, di lapangan hal ini masih sulit terwujud. Melihat hal ini, komunitas Stuffo Labs Gudrnd (Rekayasa dan Dicobacoba) mengambil peluang. Komunitas yang digagas oleh sekelompok seniman dengan berbagai latar belakang ini sejak 2017 lalu mulai melihat spanduk sebagai bahan baku.
Kepada DW Indonesia, MG Pringgotono, salah satu penggagas Stuffo Labs Gudrnd mengungkapkan, inisiatif ini muncul dari kegelisahannya akan sampah spanduk yang dihasilkannya sendiri saat menggelar berbagai acara.
Sejak saat itu, dia dan teman-temannya mulai mengolah spanduk berbahan PVC dari sisa berbagai konser musik dan kegiatan lainnya. Jika biasanya kelompok beranggota 15 orang ini bekerja sama dengan printshop dan event organizer. Saat Pemilu 2019, mereka mulai melirik untuk daur ulang spanduk caleg alias APK.
“Yang kami pakai adalah spanduk pvc, bukan yang bahan kain katun,” kata pria yang disapa MG ini.
Kala itu, mereka mendaur ulang spanduk ini menjadi berbagai produk seperti tas jinjing sampai jaket. Hanya saja saat itu MG mengaku belum terlalu fokus untuk mengolah APK.
Setelahnya, pandemik Covid-19 pun melanda. Mereka pun akhirnya banting stir untuk mengolah bahan baku lain untuk membuat perlengkapan pandemi, termasuk mengolah limbah face shield.
Di Pemilu 2024 ini, Gudrnd mengaku lebih serius mengolah APK. Mereka mulai berburu spanduk-spanduk caleg yang ditempel di mana-mana.
“Kami mengolah APK karena memang sekarang bahan bakunya lagi banyak ya. Sebelum masa tenang, kami hanya ambil yang sudah jatuh. Waktu awal mencari ya bingung harus ke mana, sering diping-pong juga. Tapi sekarang sudah tahu harus minta ke mana.”
“Kami baru bisa ambil di daerah dekat-dekat sini, misalnya di Depok, Jakarta Selatan, dekat-dekat Jagakarsa dulu kira-kira dapat 7 ton-lah. Kemarin ambil di Beji dan sekitaran Depok saja sudah dapat 1 truk engkol kira-kira 1,5 ton spanduk.”
MG bersama teman-temannya mencoba-coba untuk merekayasa spanduk APK dan spanduk lainnya untuk menjadi produk serbaguna yang bisa dipakai kembali.
“Kami sekarang tengah mencoba untuk menghasilkan multiplek, sebagai pengganti kayu atau triplek. Ini bisa dibuat kursi, modular, partisi, lantai deck, sekat ruangan dan lainnya.”
Ia mengatakan bahwa spanduk pvc punya keunggulan yakni bahannya kuat dan tahan air. Cocok untuk dibuat multiplek.
Produk-produk daur ulang buatan Stuffo Gudrnd dijual dengan kisaran harga Rp38 ribu-Rp1 juta untuk furnitur.
Insiatif senada dilakukan oleh Parongpong Raw Lab dari Bandung. Rendy Aditya Wachid, pendiri Parongpong mengungkapkan bahwa sejak 2019, dia menggunakan spanduk Pemilu sebagai wadah untuk menampung sisa-sisa limbah.
“Kami saat itu jadi partner Happiness Festival untuk mengumpulkan sampah. Saya bilang, kalau saya kumpulin sampah pakai plastik sama saja bohong, jadi residu dan nambahin beban ke waste management. Saya pikir bahan apa yang paling banyak di sekitar, ya spanduk,” katanya kepada DW Indonesia. (Dw)
Editor: Mfz