Wisata  

Menjelajahi Jejak Sejarah di Camp Vietnam: Bekas Pemukiman Pengungsi Penuh Kenangan

Avatar
Menjelajahi Jejak Sejarah di Camp Vietnam: Bekas Pemukiman Pengungsi Penuh Kenangan
Menjelajahi Jejak Sejarah di Camp Vietnam: Bekas Pemukiman Pengungsi Penuh Kenangan. Foto: Lintaskepri/Mfz.

Lintaskepri.com, Batam – Jauh dari hiruk-pikuk Kota Batam, terdapat sebuah tempat bersejarah yang tersembunyi di kota Industri ini. Camp Vietnam itulah namanya, sebuah bekas pemukiman pengungsi warga Vietnam.

Lokasi ini berada di Pulau Galang sekitar 58 KM dari pusat Pemerintahan Kota Batam di Kecamatan Batam Kota.

Pada 1979 hingga 1996 ketika zaman Orde Baru kawasan ini dahulunya berfungsi sebagai lokasi penampungan masyarakat Vietnam Selatan yang mengungsi akibat perang saudara.

Kawasan seluas 80 hektar yang dibangun PBB ini dulunya dihuni oleh 250 ribu pengungsi Vietnam yang datang secara bertahap di rentang waktu tersebut.

Kini kawasan ini menjadi museum kemanusiaan dibawah pengelolaan BP Batam. Di lokasi ini masih ada sejumlah masyarakat yang datang berkunjung menikmati wisata sejarah.

“Semenjak Covid-19 jumlah kunjungan ke Camp Vietnam sedikit menurun, berbeda dengan sebelum pandemi hampir setiap hari masyarakat berkunjung kesini,” ungkap salah satu penjaga museum kemanusiaan Camp Vietnam, Abu Nawas Tanawolo kepada Lintaskepri.

Tak hanya itu, dahulunya kawasan ini juga ramai dikunjungi wisatawan mancanegara, seperti Amerika, Australia bahkan dari Vietnam.

“Mantan-mantan pengungsi pun pernah berkunjung kesini untuk mengingat masa lalu,” ujarnya.

Pria yang akrab disapa Abu ini merupakan warga lokal yang telah lama tinggal di sekitar kawasan wisata tersebut.

Ia juga menjadi saksi sejarah bagaimana ramainya pengungsi membangun peradaban sementara di lokasi tersebut.

Ia bercerita, dahulunya camp ini dihuni oleh 250 ribu jiwa masyarakat Vietnam yang datang secara bertahap.

Saat itu mereka berbondong-bondong merapat ke Pulau Galang menggunakan kapal kayu dari tahun 1979, 1980 hingga 1996.

“Kondisinya waktu itu sangat bagus, banyak barak-barak, rumah-rumah pengungsi, pasar, rumah sakit dan fasilitas lainnya,” ujarnya.

Situasi di masa itu kini terekam di sejumlah foto yang ditampilkan di museum kemanusiaan.

Abu bercerita pada masa itu masyarakat lokal sudah terbiasa dengan keberadaan pengungsi bahkan menjalin pergaulan yang cukup akrab.

“Bahkan menjalin hubungan asmara antara warga lokal dan pengungsi waktu itu biasa terjadi,” ujarnya.

Abu menjelaskan banyak situs sejarah yang bisa didatangi pengunjung saat berwisata.

Salah satunya adalah spot penjara yang digunakan untuk membina pengungsi yang melanggar aturan.

Dua penjara berukuran 3 x 4 meter ini dapat dihuni oleh 5 hingga 10 orang yang dianggap menyalahi aturan. Ketika di penjara mereka diminta melakukan kerja-kerja sosial.

“Disini dulu dijaga aparat seperti Brimob dari kepolisan di Pekanbaru yang menjaga keamanan kawasan,” ungkapnya.

Lokasi lainnya yang dapat didatangi adalah Gereja Katolik yang bersebelahan dengan vihara yang dibangun pada 1985.

Keberadaan tempat ibadah ini memang kala itu mayoritas pengungsi bergama katolik dan Budha serta seingatnya hanya 2 orang yang beragama islam.

“Kalau gereja satu lagi ada di Galang tapi sudah hancur,” jelasnya.

Selanjutnya adalah kapal kayu yang berada di tengah-tengah kawasan wisata. Kapal tersebut kini telah di semen agar lebih awet dan tidak lapuk termakan usia.

“Dahulu yang dipamerkan masih dari kayu. Namun kini sudah dilapisi semen, dengan tetap mempertahankan kayu aslinya di bagian dalam,” ujarnya.

Abu bercerita, kapal tersebut dapat menampung 30 hingga 50 orang pengungsi.

Menurutnya sebenarnya ada ribuan kapal yang berlabuh kala itu. Namun kebanyakan tenggelam di tengah laut sebelum sampai di Galang. Sedangkan yang dipamerkan kepada pengunjung saat ini hanya dua kapal.

“Yang berlabuh mau seribuan kapal, yang tenggelam lebih banyak,” katanya.

Kondisi kayu pada bagian dalam buritan kapal terlihat sudah lapuk. Namun sayangnya banyak sampah yang berasal dari pengunjung yang dibuang kedalam kapal.

Di lokasi yang sama dua orang pengunjung, Dika dan Ratna mengaku lokasi tersebut merupakan tempat wisata yang harus dikunjungi masyarakat Batam. Apalagi bagi penyuka wisata sejarah.

Namun ia sedikit memberi masukan agar pengelola lebih merawat dan memugar lokasi tersebut.

“Disini tempatnya bagus tapi ada kekurangannya, yaitu kurangnya papan informasi yang menunjukan sejarah dari spot-spot yang tersedia,” ujarnya.

Senada dengan itu, pengunjung lainnya Amel juga menyampaikan hal serupa. Ia berharap pengelola harus menyediakan papan informasi yang detail yang dapat memberikan informasi sejarah di setiap situ kepada pengunjung.

“Kadang pengunjung bingung mau kemana, soalnya tidak ada papan informasi, mungkin kedepannya harus disediakan oleh pengelola,” ungkapnya.(Mfz)

Editor: Brm

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *