Tanjungpinang, LintasKepri.com – Diduga belum mengantongi izin penimbunan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tanjungpinang, PT. Ellang Semestha Indonesia melakukan penimbunan hutan bakau (mangrove) untuk dijadikan akses jalan ke Perumahan Ellang Indonesia Regency di Jalan Merpati Km 11, Tanjungpinang.
Pantauan awak media ini dilokasi, Jumat (26/7) siang, terlihat jelas hutan mangrove ditimbun oleh pihak pengembang perumahan tersebut. Belum diketahui pasti berapa luas lahan mangrove yang sudah ditimbun.
Salah seorang warga yang berada di lokasi, mengungkapkan penimbunan sudah lama.
“Sudah lama penimbunan ini dan sepengetahuan saya belum ada izinnya,” kata salah satu warga setempat dijumpai di lokasi.
Warga yang meminta namanya untuk tidak dipublikasikan ini menyebut, selama penimbunan terjadi juga tidak ada plang Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Sudah lama hutan tersebut ditimbun, saya tidak tau ada izin atau tidaknya, soalnya selama penimbunan tidak ada plang IMB,” ujarnya lagi.
Salah seorang karyawan PT. Ellang Semestha Indonesia Sugiarto, mengklaim bahwa segala izin sudah dimiliki oleh perusahaan.
“Semua izin sudah kita miliki dan kantongi, baik IMB maupun izin penimbunan,” ucapnya dijumpai di kantornya.
Sugiarto menjelaskan, segala proses izin telah dilewati baik dari PUPR hingga DLH.
“Semua telah kita ikuti dan lalui,” katanya, Jumat.
Informasi yang diperoleh media ini dari salah satu dinas, bahwasanya penimbunan itu belum memiliki izin timbun yang dikeluarkan oleh DLH setempat.
Untuk membuktikan kebenaran itu, Kasi Kerusakan Lingkungan DLH Kota Tanjungpinang Yong Fery, enggan memberikan penjelasan lebih jauh ketika dikonfirmasi.
Yong Fery bahkan menyuruh awak media ini agar menjumpainya di kantor DLH. Ia tidak berada di kantor dan terkesan menghindar dari lintaskepri.com ketika dijumpai.
Yong Fery beralasan lagi diskusi dengan Bidang Pembangunan di Sekretariat Kantor Walikota Tanjungpinang.
Kabid Tata Ruang di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Tanjungpinang Zuhenny juga belum berhasil dikonfirmasi guna menanyakan apakah izin Tata Ruang sudah terbit.
“Bu Kabid lagi ada tamu bang,” kata salah satu staf dinas PUPR.
Selang waktu satu jam lebih, staff perempuan ini mengatakan bahwa sang Kabid Tata Ruang di Dinas PUPR tersebut enggan menjumpai pewarta. Kata staf, Kabid Tata Ruang beralasan ada kegiatan diluar kantor.
“Ibu Kabid buru-buru barusan langsung pergi karena ada kegiatan,” ujar staf lagi.
Pemerintah setempat telah mengatur peraturan mengenai izin timbun lahan. Peraturan itu tertuang dalam Perda Kota Tanjungpinang Nomor 2 tahun 2013 tentang izin penimbunan lahan.
Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai hutan mangrove antara lain UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil pada bagian keenam Larangan dalam pasal 35 huruf (f) dan (g) yang menjelaskan Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan konservasi ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain.
Siapapun yang melanggar pasal 35 huruf (f) dan (g) itu, maka ketentuan pidananya tertuang dalam pasal 73 (1) huruf (b) yang menjelaskan setiap orang yang dengan sengaja menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konservasi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000, (sepuluh miliar rupiah).
Untuk diketahui, bakau (mangrove) dianggap sebagai fishing ground sekaligus pelindung pantai dari abrasi. Bakau berperan pula dalam menyuburkan perairan yang menjadi area penangkapan ikan bagi nelayan.
(cho)