Tanjungpinang, LintasKepri.com – Masyarakat Bumi Segantang Lada boleh berbangga. Pasalnya Festival Bahari Kepri (FBK) yang masih dalam rangkaian Sail Karimata 2016 menuai banyak apresiasi berbagai pihak. Mulai dari penduduk tempatan, wisatawan domestik, hingga pelancong mancanegara.
Pencapaian tersebut tidaklah berlebihan mengingat ajang spektakuler itu dikemas secara apik dengan beragam event. Seperti Dragon Boat Race, Festival Sungai Carang, Kepri Carnival, Eco Heroes, Sky Lantern, Wonderful Indonesia Sailing, hingga Sound from Motherland of Malay.
Berita baik tidak berhenti di situ. Festival yang digelar lebih dari sepekan tersebut dinilai memecahkan rekor yachter nasional. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dianggap sukses mendatangkan sekitar 100 perahu yacht yang bersandar di sejumlah tempat. Angka yang “lumayan” jika dibandingkan dengan 56 kapal pesiar selama perhelatan Sail Bunaken tujuh tahun silam.
Pujian pun langsung dilontarkan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya. Mantan Direktur Telkom kelahiran Banyuwangi tersebut langsung mendeklarasikan Kepri sebagai gerbang wisata bahari Indonesia. Oleh karenanya, ada kemungkinan festival serupa akan terus didorong untuk dilaksanakan setiap tahunnya.
Di mata publik bisa jadi Kepri belum setenar Bali, Bunaken, maupun Lombok. Tapi data resmi dari Kementerian Pariwisata RI menunjukkan bahwa provinsi ini merupakan penyumbang wisatawan mancanegara terbesar setelah Bali dan DKI Jakarta.
Tak mengherankan jika pemerintah memprioritaskannya sebagai salah satu episentrum pengembangan kawasan wisata nasional dengan sebutan “Great Batam” sejajar dengan “Great Bali” dan “Great Jakarta”.
Dari Lagoi Hingga “Great Batam”
Diksi “Great Batam” dibuat bukanlah tanpa alasan. Karena harus diakui branding Batam jauh lebih kuat daripada Kepri, Bintan, atau Tanjungpinang. Setidaknya dari kacamata bisnis. Hal ini diperkuat dengan kunjungan turis asing yang mencapai lebih dari satu setengah juta orang di kota yang memiliki Jembatan Barelang itu pada tahun 2015 saja.
“Great Batam” dikemas untuk menggenjot strategi pemasaran Kepri di level internasional. Dengan sebutan itu diharapkan dapat “memancing” ketertarikan turis mengunjungi destinasi-destinasi lain seperti Natuna, Anambas, Pulau Penyengat, Lingga, dan tentu saja Lagoi.
Selama ini turis domestik mungkin belum banyak yang tahu tentang Lagoi. Pasalnya, promosi kawasan wisata terpadu andalan Kabupaten Bintan tersebut memang lebih menyasar pasar internasional seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok. Namun seiring dengan hadirnya kolam renang terbesar se-Asia Tenggara di Treasure Bay, menjadikan gaung Bintan semakin kencang.
Dalam waktu dekat, pariwisata di Kepri disebut-sebut semakin melesat. Lantaran Kementerian Pariwisata telah berhasil melobi Kementerian Perhubungan untuk segera memberikan izin slot penerbangan dari Bandara Hang Nadim dan Bandara Raja Haji Fisabilillah ke beberapa kota populer Asia. Jika tidak ada aral melintang tidak lama lagi Kota Tanjungpinang akan terhubung dengan Wuhan, Fuzhou, Xianmen dan Guangzhou di Tiongkok melalui Citilink. Sementara itu penerbangan internasional dari Batam yang selama ini hanya dengan tujuan Kuala Lumpur, akan diramaikan dengan beberapa penerbangan langsung ke Korea Selatan dan Tiongkok.
Hadirnya penerbangan langsung dari dan ke Kepulauan Riau dinilai menjadi langkah strategis jika tidak boleh dikatakan taktis. Karena penerbangan merupakan kunci pembangunan pariwisata selain infrastruktur.
Pemerintah (mungkin) belajar dengan booming-nya pariwisata Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat setelah dibukanya rute internasional dari Manado dan Mataram. Dengan adanya penerbangan langsung ke Kepri, turis tidak perlu lagi transit ke Singapura atau Jakarta.
Titik-titik Pembenahan
Dengan akses hanya puluhan menit via ferry dari Singapura ke Lagoi dan dari Johor Bahru ke Batam, Kepri memiliki peluang segalanya untuk bisa mendulang Dollar dari sektor pariwisata. Terlebih lagi jika ke depan rute penerbangan internasional (dan domestik) dari dan ke Kepri diperbanyak. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki sekarang ini, ada beberapa titik krusial yang perlu dibenahi untuk mewujudkan Bumi Segantang Lada sebagai pusat wisata bahari Indonesia (bahkan ASEAN).
Pertama, sinkronisasi program pariwisata nasional dengan program pariwisata Kepri dan kabupaten/kota. Hal ini nampaknya sepele, tapi jika tidak ditangani bisa berakibat fatal. Karena pelancong datang untuk bersenang-senang, bukan direpotkan dengan kendala-kendala teknis tak berkesudahan yang diakibatkan oleh adanya kebijakan tumpang tindih. Suksesnya perhelatan FBK menjadi contoh cukup baik untuk merancang program-program kreatif yang melibatkan segala pemangku kepentingan.
Kedua, perbaikan infrastruktur. Selama ini infrastruktur strategis penunjang pariwisata di Kota Batam, Kota Tanjungpinang, dan Kabupaten Bintan cukup meyakinkan. Namun, akan lebih baik lagi jika hal serupa juga diwujudkan di Kabupaten Karimun, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga.
Ketiga, kesiapan sumber daya manusia. Pariwisata Bali maju bukan karena hanya pemerintahnya, tapi juga masyarakatnya. Di provinsi itu bertebaran sekolah tinggi pariwisata, sekolah tinggi perhotelan, institut seni hingga akademi bahasa asing yang mumpuni. Jika Kepri ingin segera “terbang lebih tinggi”, langkah yang diterapkan Bali mau tidak mau harus ditiru. Jika tidak, bukan tidak mungkin pesatnya pembangunan turisme ke depan hanya akan menjadikan masyarakat tempatan sebagai penonton lantaran kalah bersaing dengan para pendatang dari luar provinsi.
Keempat, penggalakan sadar wisata. Pariwisata adalah industri yang melibatkan hampir seluruh sektor lainnya. Artinya, maju atau tidaknya juga ditentukan oleh dukungan masyarakatnya. Program-program bertajuk sosialisasi, penyuluhan, pelatihan, hingga penyadaran akan wisata tidak dapat ditawar lagi untuk diaktifkan. Apa jadinya jika masyarakat masih seenaknya membuang sampah seenaknya, para pelajar yang tidak sadar dengan keterampilan berbahasa asing, atau unit-unit organisasi di luar dinas pariwisata yang memiliki program berseberangan. Percuma saja promosi digital habis-habisan yang digelar pemerintah pusat belakangan ini.
Kelima, rutinnya ajang pemilihan duta wisata. Pemuda ialah agen perubahan yang menjadi harapan pembangunan masa depan Kepri, tak terkecuali pada sektor pariwisata. Salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan pemahaman mereka dengan potensi budaya dan pariwisata daerahnya sendiri ialah melalui ajang pemilihan duta wisata. Selama ini masih ada beberapa kabupaten/kota yang belum rutin (atau tidak pernah sama sekali) menyelenggarakannya. Padahal para pemenang dari ajang tersebut bisa menjadi Public Relations, Ambassador, atau setidaknya Strategic Partner pemerintah yang dapat diandalkan. Sylviana Murni (Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta), Zumi Zola (Gubernur Jambi), Maudy Koesnaedi (Artis), dan Tommy Tjokro (News Anchor) ialah segelintir nama yang di masa mudanya pernah menjadi duta wisata.
Di luar dari lima poin di atas, sejatinya masih banyak lagi “pekerjaan rumah” untuk dibereskan. Yang harus terus-menerus diingat ialah bahwa pariwisata bisa menjadi tumpuan ekonomi masa depan Kepri, sama seperti Bali (dan belakangan NTB). Semoga suksesnya FBK beberapa waktu lalu menjadi momentum sekaligus “babak baru” untuk berbenah diri di segala lini. Karena seperti pesan sejarawan Amerika, Bonnie Burnham bahwa “Tourism carries a tremendous potential that must be acknowledged as essential for the future of world heritage. But without proper management, we can easily get out of control.”
(Penulis Agung Setiyo Wibowo, Dosen FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang)