Lintaskepri.com, Jakarta – Sejumlah Organisasi yang mengatasnamakan Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi meminta untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran dalam prolegnas 2024, Rabu (22/5/2024)
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Penyiaran yang disahkan pada 2002. Dalam perjalanannya, undang-undang ini memang harus direvisi, mengingat pesatnya perkembangan teknologi penyiaran.
Namun, revisi yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, ternyata bermasalah dalam proses penyusunannya, juga mengancam keberagaman, kebebasan pers dan hak kelompok rentan.
Publik hanya punya waktu beberapa bulan saja, karena revisi UU Penyiaran ini ditargetkan sah menjadi UU pada September 2024.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida menyatakan bahwa hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers, karena selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat UU Pers.
Lebih dari itu, pembungkaman terhadap pers artinya juga pembungkaman terhadap kelompok marginal, sebab pembatasan-pembatasan ini membuat ruang gerak pers dalam memberitakan kelompok rentan menjadi semakin sempit.
“UU Penyiaran memang sudah outdated, kita memang butuh revisi. RUU Penyiaran boleh direvisi, tetapi revisi yang kali ini justru memberangus kebebasan pers. Ini bukan cita-cita revisi yang kita inginkan. Ini merugikan banyak pihak.” Ujar Nani
Astried, dari Jakarta Feminist juga menyatakan bahwa RUU Penyiaran akan membatasi kreativitas kalangan muda dan/ influencer/content creator yang juga aktif menyuarakan dan berekspresi pada isu-isu sosial.
“RUU Penyiaran ini luput perspektif gender, banyak pasal yang rancu dan multi tafsir sebab tidak ada pelibatan stakeholder dalam penyusunannya yang sunyi senyap. Misalnya jika pelarangan jurnalisme investigasi dilarang, ini akan memiliki pengaruh pada liputan-liputan mendalam terkait kekerasan atau femisida terhadap perempuan.” Ujar Astried
“Pasal-pasal yang karet ini membahayakan anak muda yang mengkritisi banyak isu sosial. Jelas RUU ini berupaya untuk pembungkaman masyarakat sipil.” Tambahnya
Sedangkan sarah, dari Perempuan Mahardhika menyoroti pembatasan persyaratan untuk menjadi komisioner KPI. Sarah menyatakan, bahwa penghilangan hak warga negara melalui pembatasan kebebasan mendaftar menjadi komisioner ini sama dengan penghilangan hak mereka sebagai warga negara yang seharusnya mendapatkan hak yang sama di dunia ini.
“Pembatasan ekspresi-ekspresi tertentu melalui penyensoran sebagai bentuk penyempitan ruang ekspresi kelompok marginal adalah bentuk pemiskinan struktural. ” Ujar Sarah.
Sedangkan, Ma’ruf Bajammal dari LBH Masyarakat menyatakan bahwa pelarangan peliputan jurnalisme penyiaran yang relevan untuk warga dan/pelarangan muatan konten yang mengandung narkotika dalam RUU Penyiaran, dapat menghambat kebijakan narkotika, khususnya terkait penggunaan ganja untuk keperluan medis.
“Dalam pasal 50 B ayat 2 terdapat pasal terkait penyensoran tayangan yang mengandung narkotika. Padahal, narkotika tidak selalu menyangkut yang sifatnya jahat, ada juga yang diperuntukkan bagi kepentingan medis. RUU ini memperkuat stigma terhadap narkotika dan pengguna narkotika itu sendiri karena adanya penyensoran tersebut,” ujar Ma’ruf.
Maka dengan kondisi ini, Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi menyatakan sikap untuk:
Hentikan pembahasan RUU Penyiaran dalam prolegnas 2024 dan memulai kembali penyusunan RUU di periode DPR selanjutnya dengan pelibatan yang berarti dari stakeholder dan publik dengan beberapa catatan penting, yakni:
A. Menghapus pasal-pasal diskriminatif dalam revisi UU Penyiaran karena mendiskriminasi orang-orang atau kelompok tertentu melanggar Konvensi CEDAW, Konvensi anti Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pemerintah Indonesia di tahun 1984 meratifikasi CEDAW yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984.
B. Menghapus pasal-pasal pembungkaman pers, tumpang tindih kewenangan KPI dan Dewan Pers, sekaligus stop memperbesar pemusatan kepemilikan media. (*)
Editor: Mfz