Lintas Kepri

Infromasi

Yuli Ramadhanita, S.IP.
Yuli Ramadhanita, S.IP.
Yuli Ramadhanita, S.IP.

Banyak masalah bisa kita selesaikan dengan berbicara. Berbicara tentang Pemberdayaan Perempuan, Kita bukan hanya berbicara tentang bagaimana Perempuan bisa setara dengan Laki-laki, atau dulu lebih dikenal dengan Emansipasi Perempuan. Sekarang saatnya kita berbicara tentang Berkeadilan bagi Perempuan dan juga Laki-laki bagaimana harus Adil? Tentu kita harus melihat kebutuhan Perempuan dan Laki-laki tersebut.

Terkadang kita terjebak pada Pemikiran, bahwa Adil itu jika semua yang kita lakukan tidak pernah membedakan Perempuan dan Laki-laki. Hal tersebut itulah yang menjadi masalah bagi Perempuan.

Coba kita bayangkan, bagaimana sesuatu hal yang berbeda kita perlukan sama dengan ilustrasi ketika kita memberi makan seekor burung bangau dengan kucing, tentulah harus dengan Wadah yang berbeda. Jika tidak, maka bisa dipastikan salah satu diantaranya tidak bisa makan.

Setidaknya ada empat hal yang membedakan Laki-laki dan Perempuan, yaitu Menstruasi, Hamil, Melahirkan dan Menyusui. Maka hal tersebut itulah perlu menjadi pertimbangan kita, agar menjadikan perempuan sebagai sesuatu yang khusus. Bukan berarti Perempuan harus mendapat sesuatu yang lebih dari Laki-laki, tetapi dengan kondisi Perempuan tersebut, maka harus ada perbedaan perlakuan yang kita suguhkan untuk Perempuan.

Namun kita terkadang salah membedakan perilaku seperti yang sering kita jumpai di masyarakat, yaitu anak-anak perempuan harus membersihkan rumah, memasak dan mengurus pekerjaan lainnya. Sementara anak laki-laki tidak. Jadi anak perempuan selain sibuk dengan aktifitas belajarnya, dia juga harus dipusingkan dengan pekerjaan rumah yang tak selesai-selesai.

Sedangkan anak laki-laki banyak waktu luang yang dapat digunakan untuk bermain. Hal ini akan menambah masalah baru, karena anak laki-laki ketika dewasa akan tumbuh dengan keegoannya yang tidak mau mengurus pekerjaan rumah tangganya yang sepenuhnya diserahkan kepada perempuan. Mungkin hal ini kita bisa rubah dengan pekerjaan rumahnya kita bagi, antara anak laki-laki dan perempuan. Sehingga perempuan juga bisa memiliki waktu bermain yang cukup, dan laki-laki juga memiliki tanggungjawab untuk pekerjaan rumahnya.

Lihatlah perempuan yang bekerja di kantor, selain dia harus mengurus pekerjaan di kantor, dia juga harus bertukus lumus dengan pekerjaan rumah yang seharusnya bisa dibagi dengan suaminya. Sadar atau tidak, akan banyak hal yang menjadi masalah, jika perempuan dibiarkan dengan beban ganda tersebut. Beberapa hal tersebut adalah menjadi salah satu alasan, yang menyebabkan perempuan enggan untuk menyusui anak-anaknya, karena dirasakan sangat merepotkan. Mungkin harus bolak balik ke kantor yang sangat melelahkan, (Padahal bagi ibu menyusui tentunya diberikan waktu untuk istirahat yang lebih, untuk menyusui anaknya) atau anak akan sangat ketergantungan dengan ibunya. Jadi akan sangat kesulitan untuk meninggalkan waktu dinas.

Berdasarkan pengalaman saya dengan intensitas kesibukan yang tinggi, saya harus meninggalkan ASI yang cukup di rumah, atau saya bawa seseorang yang dapat membantu saya di tempat tujuan. Karena menyadari sepenuhnya, bahwa kwalitas ASI tidak bisa di tandingi oleh produk susu lainnya, (Zat penting dalam ASI tanya langsung ke Dokter).

Laki-laki sebagai suami harus memberi dukungan sepenuhnya, mulai dari rumah, mulai dari rumah yaa! Ingat para suami memberi dukungan sepenuhnya kepada istri untuk memberi ASI atau keadaan lainnya, terlebih lagi ketika istri dalam persalinan, (Peraturan Badan Kepegawaian Negara atau BKN, tentang laki-laki boleh cuti bersalin lho..!!). Bantulah istrinya untuk mengurus keperluannya atau keperluan rumah tangga, atau jika mempunyai penghasilan lebih, gajilah seorang asisten rumah tangga (pembantu), untuk membantu istrinya di rumah. Begitu dahsyatnya pekerjaan rumah tangga yang saya sendiri tidak sanggup untuk menyatakan diri sebagai Ibu rumah tangga, (Sempat terpikir untuk berhenti dari pekerjaan kantor) untuk mengurus pekerjaan rumah dan anak-anak saja, ternyata menjadi Ibu rumah tangga lebih berat lagi, daripada bekerja di kantor yang mungkin dengan penghasilan kita, bisa kita gaji asisten rumah tangga untuk membereskan semuanya. Tentunya jangan semuanya yaa!!.

Selain hal diatas, perilaku merokok sembarangan juga sangat membahayakan perempuan dan anak-anak yang berada disekitar perokok. Saya tidak harus mengatakan bahwa berhentilah merokok, tetapi mohon tidak merokok disekitar perempuan, karena perempuan mempunyai organ reproduksi yang harus dijaga, (Bahkan dari sebelum proses kehamilan) dan anak-anak yang sedang membutuhkan zat-zat baik untuk proses tumbuh kembangnya janin (Tanya kepada dokter yaa!).

Kondisi perempuan seperti tergambar diatas juga menyebabkan posisi rentan perempuan, untuk mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangganya. Sekecil apapun bentuknya, baik psikis maupun fisik, maka tidak ada pembenaran untuk itu.

Begitu banyak perempuan harus meregang nyawa di tangan suaminya sendiri akibat kekerasan yang dibiarkan terus menerus. Sekali lagi tidak ada toleransi terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, sekecil apapun itu, perempuan yang menjadi korban kekerasan berhak mendapat perlindungan dari negara dan mendapat pelayanan yang diperlukan, seperti rujukan kesehatan, konseling psikolog, pendampingan oleh petugas yang sudah dipersiapkan Pemerintah, seperti yang ada dalam lembaga Pusat Pelayanan Terpadu, Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Yang mana lembaga ini adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah berbasis masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan mengakhiri segala tindak kekerasan terhadap perempuan itu adalah gerakan semua pihak, baik Pemerintah maupun Masyarakat.

Masalah adalah, tidak semua perempuan yang mengalami tindak kekerasan mau melaporkan kepada pihak P2TP2A, karena ada beberapa hal yang mempengaruhinya, seperti bahwa adanya perilaku yang masih dianggap wajar yang dilakukan suami kepada istri, meski itu sudah termasuk kategori kekerasan. Misalnya kekerasan secara verbal (Kata-kata kasar atau ancaman) masih kita temui ditengah masyarakat kita. Ditambah lagi Perempuan malu jika harus melaporkan kekerasan yang dialami, karena banyak perempuan menganggap kekerasan yang dialami itu adalah akibat kesalahannya sendiri, yang tidak bisa menjadi yang diharapkan bagi suaminya.

Hal tersebut jika dibiarkan terus menerus dialami oleh Perempuan, maka secara psikologis akan menurunkan kwalitas dirinya sendiri didalam keluarga, bahkan juga ditengah lingkungan masyarakat. Fenomena ini seperti fenomena gunung es, yang terjadi kemungkinan lebih besar daripada yang terlaporkan.

P2TP2A perlu laporan karena akan mudah untuk memberi pelayanan yang dibutuhkan kepada korban, tanpa penolakan dari korban maupun keluarganya. Mungkin hal ini disebabkan korban mempunyai ketakutan tersendiri kepada pelaku kekerasan itu sendiri.

Perlu diketahui, bahwa P2TP2A hanya menangani perempuan dan anak yang mengalami tindak kekerasan. Namun jika sudah berurusan dengan pelaku apabila mengancam keselamatan jiwa, maka sangat dianjurkan kepada korban untuk segera laporkan ke pihak kepolisian terdekat, demi keamanan untuk korban itu sendiri.

Seharusnya semua keluarga mempunyai manajemen penyelesaian masalah yang baik, yaitu jika ada permasalahan didalam rumah tangga, haruslah dibicarakan. Tentunya harus ada solusi dari permasalahan yang timbul dan hendaklah melibatkan keluarga atau institusi terkait, dalam menyelesaikan masalah rumah tangga tersebut, (Ingat BP4 yaa!!) bukan dengan kekerasan. Percayalah kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan melahirkan masalah baru, dan yang lebih parah lagi kekerasan yang terjadi dapat berdampak buruk pada perkembangan Psikologis anak-anak, pada keluarga tersebut (Tanya Psikolog P2TP2A yuuk!!).

Menurut penelitian, anak-anak yang tumbuh pada keluarga yang mengalami tindak kekerasan terus-menerus, ketika dewasa kemungkinan 80% akan menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Semua orang bisa berperan untuk kaum perempuan. Saya berperan mungkin lewat tulisan saya, dan mudah-mudahan banyak lagi yang tergerak untuk menulis bagi kepentingan perempuan. Semoga dengan perempuan bicara banyak masalah akan selesai dan akan melahirkan generasi cerdas, sehat dan tangguh untuk Negara ini.

 

NB : Tulisan ini jauh dari kata sempurna, baik dari ide maupun sistem penulisan. Dengan segala kebesaran hati, penulis memohon kritik dan saran dari para pembaca. Tunggu tulisan berikutnya “Perempuan Bicara Bagian II”.
Oleh : Yuli Ramadhanita, S.IP,
Kabid Kesetaraan Gender dan Pemenuhan Hak Perempuan pada Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) Kabupaten Natuna.

Natuna, 21 April 2018

Bagikan Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *