Mendulang Isi Laut Berakit, Jang Nelayan Kelong Apung

Avatar
Jang, Nelayan Kelong Apung bersama puluhan Bilis Lobak, di laut Berakit Kabupaten Bintan, Sabtu (16/4).
Jang, Nelayan Kelong Apung bersama puluhan Bilis Lobak, di laut Berakit Kabupaten Bintan, Sabtu (16/4).

 

Jang, Nelayan Kelong Apung bersama puluhan Bilis Lobak, di laut Berakit Kabupaten Bintan, Sabtu (16/4).
Jang, Nelayan Kelong Apung bersama puluhan Bilis Lobak, di laut Berakit Kabupaten Bintan, Sabtu (16/4).f.ajianugraha

“Jika jaringnya turun dalam sekejap semua ikut terangkut masuk menjadi puluhan juta rupiah di pagi hari. Diperbatasan Indonesia, dari 21 Kelong nelayan Berakit mengapung tempat Jang berada. Berikut liputannya”

Bintan, LintasKepri.com – Deretan pompong, sebutan alat transportasi laut masyarakat Panglong, Desa Berakit Kabupaten Bintan, berjejer rapat di pesisir pantai dekat Pelabuhan Internasional Kepri berada. Mereka para nelayan Kelong (Rumah Apung), anak buah Asia, salah satu Toke atau Bos Penampung ikan mulai bersiap memulai pekerjaannya.

Supardi (29) namanya, salah satu dari 42 nelayan Kelong apung bergegas mempersiapkan pompongnya, kali ini dia tidak sendiri bersama rekannya, “lepas talinya Gus,” teriak peria berbadan gempal ini, tanda perjalanan kami menuju Kelong dimulai.

Langit kebiru-biruan terlihat cerah, Sabtu (16/4) itu waktu yang tepat buat saya dan Suhardi, salah satu rekan saya di media cetak lokal Provinsi Kepri menghabiskan waktu di ujung Barat Provinsi Kepri, Desa Berakit tepatnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia. Karena hari libur kerja kami putuskan untuk memancing diatas Kelong milik Jang, disinilah perjalanan singkat itu bisa di ulas.

Suara mesin pompong saut menyaut, tepisan ombak melajur kencang, semakin jauh semakin tak terlihat lagi pinggir pantai tempat kami meninggalkan alas kaki. Ujung kemudi sebentar naik dan turun terhempas gelombang, sontak Suhardi berseru “Yuhhuuuu..!!!, Gilak bro,” sebutnya menatap Agus penjaga Kemudi saat kami berayun laju menuju salah satu Kelong.

Perjalanan membutuhkan waktu 30 menit, semakin jauh Kelong berada semakin lama perjalanan kami, hingga akhirnya kami sampai di Kelong saat dipandang nun jauh seperti titik hitam, namun ketika dekat ternyata begitu luas, seperti rumah panggung di Pulau Penyengat.

Deretan baris pompong nelayan Kelong apung berakit
Deretan baris pompong nelayan Kelong apung berakit.f. ajianugraha

Sayangnya bulan ini hasil laut jarang ditemui, kabarnya saat ini musim Ikan Bilis Lobak, namun tak menyurutkan semangat Supardi atau pria yang biasa dipanggil Jang ini untuk mengarungi laut Berakit. “Kita tarik ke darat sikit,” kata Jang kepada Agus meninggalkan kami di Kelongnya.

Kelong dengan batangan kayu besar berdiameter panjang enam meter dan lebar lima meter itu berdiri kokoh diatas puluhan drum yang di desain rapi, berjejer teratur dengan ikatan tali menali dari satu sisi ke sisi lainnya. Begitu juga dengan lantai kokoh tebal berbahan kayu serat berlapis-lapis tersusun, tak sedikitpun ketika kita berjalan ragu melangkah diatasnya, meskipun ombak begitu kencang sore itu, tanda air mulai pasang.

Jang menunggu keningnya ditarik menuju darat, tempat Ikan Bilis Labak ditanggul
Jang menunggu keningnya ditarik menuju darat, tempat Ikan Bilis Labak ditanggul. F.ajianugraha

Tali yang diikat kembali dibentang sekira seratus meter menarik Kelong dengan pompong sedikit gas dari mesin penarik menuju kearah darat. Kata Jang, “Tak ada ikan disini, kita harus menepi,” sambil menggulung kembali talinya dan menjatuhkan jangkar Kelong dari setiap sisi berbentuk kubus itu, tanda pencarian hasil laut dimulai.

Perlahan senja mulai tertutup waktu. Meskipun Kelongnya sudah siap untuk beroperasi, Jang masih menyitari 21 Kelong lainnya, memastikan semuanya sejajar dan siap bertugas, menyandarkan kapal dan mulai menghidupkan mesin diesel bertenaga solar untuk penerangan Kelong tempat kami bermalam. “Kalau dulu mana ade macam ni,”  ujarnya mengisahkan 18 tahun lalu, saat Jang mulai turun belajar menjadi Nelayan Kelong bersama Almarhum Ayahnya. Hingga menutup senja.

Menanggul Labak Hasilkan Puluhan Juta

Waktu semakin larut, hanya mesin genset bermuatan delapan liter solar menghidupkan lampu 5 wat menerangi kami. Disana kami berbincang dipelataran kelong, menunggu sekira 30 menit jaring untuk diangkat 50 meter dari permukaan laut. Lubang kecil terbuka di mulut tanggul berkuran 6 kali 5 meter itu, untuk membuka isi laut masuk kedalamnya.

Jang menjelaskan, biasanya kalau musim saat ini, Ikan Bilis Lobak, sejenis ikan kecil yang biasa dikonsumsi masyarakat Kepri dengan harga perkilonya puluhan ribu rupiah, ditanggulnya. “Kalau sekarang ni musim Bilis Lobak, kalau dapat sotong biselah kita pancing ikan nanti ye, tunggu kejap,” ujar Jang mulai menaikkan jaringnya. Ini pertama kalinya Jang mengangkat jaring dimalam itu.

Puluhan sotong berkulit merah bercampur ikan Bilis Lobak juga ikut terjaring masuk kedalam perangkap.”Haa, ni dapat buat makan malam kite, sikit bolehlah buat umpan pancing ye,” gumam Jang mendulang Bilis.

Ikan Bilis Lobak hasil tangkapan Jang
Ikan Bilis Lobak hasil tangkapan Jang. F.ajianugraha

Lobak yang didapatkan dari hasil jaring kemudian di masukkan kedalan tampan (tempat menampung Lobak) kemudian direbus kedalam kuali besar dengan air asin di atas Kelong itu. “Biar Lobak ni tak pecah,” kata Jang menjelaskan.

Kilaun sisik Lobak dan air yang mulai keruh tadi dibuang kelaut, Lobak disusun dengan rapi diatas tampan, satu persatu berjejer hingga puluhan kilogram, sementara sotong hasil tangkapan malam itu sebagian digoreng. Semua peralatan dapur lengkap diatas Kelong ini. “Bos sudah sediakan semuanya,” terangnya kepada kami, sembari memasak beras untuk makan malam kami kali ini.

Sembari menyantap tentakel goreng ala Jang, dia menjelaskan penghasilannya dari Bilis Lobak ini. Dalam sebulan penghasilannya paling sedikit 25 juta rupiah, itu dibagi tiga dengan bos dan Agus rekan kerjanya se-Kelong. “Lima juta untuk transportasi selama sebulan, sepuluh juta untuk bos, sisa sepuluh bagi dua dengan Agus, same rata,” sisi perimbangan yang diucapkan Jang.

Puluhan juta uang yang didapatkannya, tidak semudah itu. Bilis Lobak yang sudah didapatnya kemudian harus kembali dijemur saat sampai ke darat, disana Jang harus menjaganya. Ketika kering, Bilis Lobak baru bisa dihitung untuk dijual ke pasar. “Jual kering, sekilo Labak Rp.40 ribu, sebulan kalau lagi banyak tangkap mau puluhan kilo, jual kering ” jelasnya.

Hari mulai larut, angin semakin kuat saya putuskan masuk kedalam Kelong, sementara Suhardi sibuk memancing, saat pagi dia dapat belasan ekor Ikan Selar ” Lumayan Men, untuk sarapan pagi” kata Suhardi, senyum niatnya tersampaikan untuk mancing di laut Berakit ini.

Fajar mulai terbit dari arah timur laut Berakit, saya dikejutkan dengan puluhan tampan berisi Lobak sudah siap untuk dibawa ke darat. Lampu dipadamkan, dan hanya sang Surya perlahan timbul dari khufuk timur tempat kami akan berlabuh.

Jang mulai menyusun tampan, satu persatu Lobak disusun dari atas pompongnya beserta tangkapan lainnya, semisal Ikan Selar, Sotong, Pari dan banyak lainnya yang didapat malam tadi. Satu persatu Kelong disinggahi, pompong yang masih kosong terus diisi, semua diangkut dan dikumpulkan sesuai hitungan.

Beberapa mil menuju darat, terlihat kapal-kapal besar bersandar dilaut Berakit itu, katanya kapal itu adalah tangkapan TNI Angkatan Laut, “Itu Kapal Asing yang ditangkap tentara,” kata salah satu nelayan. Saat itu terlihat juga beberapa aparat TNI bersenjata lengkap mendatangi kapal tangkapan itu, sepertinya ada penyergapan.

Salah satu kapal asing yang di tangkap TNI AL diperairan Berakit, Kabupaten Bintan. Sabtu (16/4).
Salah satu kapal asing yang di tangkap TNI AL diperairan Berakit, Kabupaten Bintan. Sabtu (16/4).f.ajianugraha

Mereka ditangkap rata-rata diduga telah melakukan Ilegal Fishing, penyelundupan dan beberapa tidak memiliki surat pelayaran di laut Indonesia, khususnya kawasan Pulau Bintan, Provinsi Kepri.

Hanya sekilas, akhirnya kami sampai di pinggir pantai. Dipinggir sudah berderet saudara, tetangga dan beberapa masyarakat setempat yang menunggu kedatangan para Nelayan Kelong apung Berakit. Mereka selalu mencari hasil tangkapan yang masih segar, terkadang para nelayan tak ingin dibeli, mereka hanya memberi tanpa memungut sedikitpun rupiah. Disinilah letak keharmonisan masyarakat Berakit tercipta.

Semua hasil tangkapan kemudian dipindahkan dari pompong kedalam truk kuning yang sudah disediakan, semua diangkut menuju penampungan ikan, tempat segala isi laut Berakit berada. (Aji Anugraha)

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *