Tanjungpinang, LintasKepri.com – Tanah dan lahan bersertifikat yang telah dimiliki seseorang menjadi penghambat Pemerintah Kota Tanjungpinang dalam menanggulangi permasalahan banjir hingga tuntas, kata Plt Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Tanjungpinang, Amrialis, Selasa (15/3).
“Yang sulit itu penanganan di daerah belakang Ramayana. Karena dibelakang bangunan pusat perbelanjaan Ramayana di Jalan Wiratno Kota Tanjungpinang, dulunya hutan bakau. Sekarang tempat itu tanahnya telah bersurat bersertifikat,” katanya.
Amrialis menjelaskan, langkah yang diambil menangani persoalan banjir melalui normalisasi saluran drainase dari Jalan Suka Berenang hingga ke wilayah belakang Ramayana.
“Ada banyak kepemilikan lahan dibekas bakau belakang Ramayana itu,” tegasnya.
Seharusnya daerah bekas bakau di belakang Ramayana dan telah ada waduknya harus dibebaskan. Karena wilayah itu penyebab genangan air. Tapi anehnya kenapa tempat itu dulunya bisa dikeluarkan surat tanah. Akibatnya menghambat dalam menuntaskan permasalahan banjir.
“Anggaran menuntaskan banjir dari dana rutin yang kita miliki sebesar Rp 750 Juta yang dilakukan secara swakelola, dan penanganannya di 2016,” terang Amrialis.
Dengan dilakukannya normalisasi, kata dia, contoh di depan bekas Hotel New City Kilometer 4 yang sebelumnya banjir bersumber dari air belakang ruko-ruko di Bintan Plaza telah ditangani dengan memasukkan Amphibi di 2014, dan banjir pun berkurang.
Walaupun begitu, terkadang tetap saja disaat hujan deras air tak tertampung dikarenakan air pasang. Ditambah lagi dari atas wilayah Jalan Anggrek Merah sumber air turun bertemu hingga menyebabkan genangan.
“Termasuk didepan PT Simin di Jalan MT Haryono Kilometer 3. Begitu air surut, genangan pun surut juga,” ucapnya.
Sedangkan untuk wilayah belakang Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Kilometer 8, saat ini sedang dikerjakan normalisasi, tahap pendataan lahan, serta dokumen pengadaan lahannya sudah selesai.
Hanya saja tinggal menunggu Surat Keputusan (SK) penetapan lahan dari Gubernur Kepri. Karena wilayah itu luas, lebih kurang 10 hektare.
“Apabila lahan dibebaskan dapat dijadikan taman sampan dan tempat pemancingan,” katanya.
Menjadi permasalahan sekarang, lahan yang telah bersertifikat pemilik banyak yang tidak berdomisili disini.
“Banyak orang Jakarta. Yang menjaga lahan tidak bisa memberikan keputusan,” ujar Amrialis.
Jadi, 2016 ini, pihaknya lebih memfokuskan ke penanganan saluran normalisasi dan pembersihan drainase melalui Satuan Kerja (Satker) Badan Waduk dan Sungai (BWS) bekerjasama dengan PLP, dan saat ini Satker tengah menangani DED.
“Kita (PU,red) sudah beberapa kali turun bersama BWS dan PLP dalam menangani waduk, dan saluran-saluran primer. Jika lahan bermasalah tentunya dana dari pusat penanganan banjir tidak bisa digunakan,” katanya. (syh)