“Globalisasi menawarkan kesempatan yang setara. Tak peduli nama besar almamater, negara asal dan latarbelakang etnis, siapa saja bisa menjadi pemenang lantaran sistem yang merit-based”.
Penulis: Agung Setiyo Wibowo (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Maritim Raja Ali Haji)
Tanjungpinang, LintasKepri.com – Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata ‘migran’. Mungkin pikiran melayang kejutaan saudara-saudara kita yang mengadu nasib di Malaysia, Arab Saudi, Taiwan, Hong Kong, Singapura, atau negara lainnya.
Jika benar demikian, sudah pasti kita mengelus dada lantaran peliknya permasalahan yang dihadapi oleh pahlawan devisa tersebut. Kekerasan dari majikan, lembur yang tidak manusiawi, gaji yang tak terbayarkan, percaloan sistematis, rendahnya tingkat pendidikan, hingga minimnya keterampilan merupakan segilintir dari isu yang kerap kali terdengar.
Dorongan ekonomi memang masih menjadi faktor utama migrasi. Dalam prakteknya, mereka rela mempertaruhkan harta benda hingga nyawa. Semuanya agar dapur tetap mengebul.
Mobilitas pekerjaan antar negara kian tidak terbendung lagi kedepannya. Terlebih lagi sejak diberlakukannya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kendati negara-negara di Asia Tenggara masih mengandalkan perjanjian-perjanjian bilateral dalam mengurus pekerja informal, belakangan sudah disepakati Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang memungkinkan para profesional terampil “terstandarisasi” bekerja di negara sesama anggota ASEAN.
Berdasarkan perjanjian itu ada 8 profesi yang menjadi pilot project yakni insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga survei, praktisi medis dan perawat.
Meski MRA telah diketuk palunya oleh para elit negeri, fakta dilapangan belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat masing-masing negara masih tarik ulur kepentingan yang pro-domestik.
Tidak mengherankan jika beberapa waktu lalu ditemukannya beberapa dokter Malaysia dan Singapura di salahsatu rumah sakit di ibukota menjadi perhatian dan perdebatan. Hebohnya pemberitaan media yang ditambah dengan minimnya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai MEA menjadi penegas.
Diluar konteks MEA, sejatinya Indonesia sudah bertahun-tahun menjadi salah satu tujuan utama migran terdidik dan terampil dari berbagai belahan dunia. Meski prosentasenya tidak sebesar di Singapura, tren meningkatnya profesional asing yang mengisi pos-pos manajerial atau strategis diberbagai perusahaan lokal dan multinasional seharusnya menjadi pelajaran.
Kita dapat mengeceknya dengan mudah di perkantoran dibilangan SCBD, TB Simatupang hingga Jababeka. Mereka kebanyakan dari India, Australia, Filipina, Malaysia, Eropa Barat hingga Amerika Utara. Yang mengagetkan, belakangan para profesional asing yang menyerbu Indonesia bukan hanya menyasar perusahaan multinasional sebagaimana era sebelumnya.
Kini mereka sangat percaya diri memperebutkan kue ekonomi di sektor-sektor yang sebenarnya dapat diisi orang lokal. Sebut saja pemasaran langsung (MLM), asuransi, pendidikan, teknologi informasi, media digital dan start up. Dengan kata lain, mereka menjadi kompetitor angkatan kerja kita yang sebenarnya masih kesulitan mencari lowongan.
Dengan kemampuan berbahasa Inggris yang jauh lebih baik dan keterampilan teknis yang dimiliki, tentu mereka menjadi ancaman bagi pekerja lokal.
Melihat kenyataan diatas, tidak berlebihan jika Indonesia disebut sebagai medan magnet migran yang terus bersolek. Kebijakan Presiden Jokowi yang membebaskan syarat penguasaan Bahasa Indonesia bagi para pekerja asing turut meroketkan pamor itu.
Kendati demikian, lembaga-lembaga kursus Bahasa Indonesia di negeri jiran seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina makin diminati anak muda. Mereka tahu bahwa Republik ini merupakan pasar yang amat menggiurkan untuk didatangi dan ditaklukkan. Lantas, apa pelajaran yang dapat dipetik bagi kita semua?.
Globalisasi menawarkan kesempatan yang setara. Tak peduli nama besar almamater, negara asal dan latarbelakang etnis, siapa saja bisa menjadi pemenang lantaran sistem yang merit-based.
Kecerdasan melihat peluang, kemampuan berbahasa asing, penguasaan teknologi, hingga keterampilan manajemen dan kepemimpinan menjadi kuncinya. Persoalannya ada pada mental bangsa ini.
Apakah kita melihat diri sendiri hanya sebagai pasar maupun penonton?. Ataukah pelaku, pencipta, dan penggerak?. Jawabannya dapat dimulai dari Anda.