Oleh : Rio Irwan Saputra, SH.,MH (Advokat Tanjungpinang)
Dewasa ini sering kita jumpai banyaknya prilaku-prilaku manusia yang sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah dan norma-norma, baik itu susila maupun hukum. Bukan saja di kota-kota besar, melainkan hal semacam ini sudah merambah sampai ke daerah-daerah.
Kalau kita mengikuti berita-berita dalam surat kabar, media elektronik dan internet, maka boleh dikatakan tidak ada satu hari terlewatkan dimana tidak dimuat berita tentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum, baik yang berupa pelanggaran-pelanggaran, kejahatan-kejahatan, maupun yang berupa perbuatan melawan hukum dibidang hukum perdata.
Budaya kita pada dasarnya adalah sangat menghargai keragaman dan perbedaan serta patuh terhadap aturan-aturan dasar (norma-norma), akan tetapi dikarenakan berbagai faktor kadang-kadang seseorang dalam mengambil keputusan tidak menggunakan akal sehat dan terkesan tutup mata terhadap aturan positif yang sudah ditetapkan.
Menyedihkan lagi ialah bahwa tidak sedikit dari orang-orang yang tercerahkan dibidang hukum sebagai pelakunya, baik ia penegak hukum atau bukan. Ini semua terjadi jelas disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan definisi “apa itu hukum?” serta sangat lemahnya Kesadaran Hukum dalam interaksi antara manusia satu dengan lainnya.
Kesadaran dapat diterminologikan sebagai kondisi di mana kita dapat memahami eksistensi kita sebagai mahkluk ciptaan Tuhan atau kemampuan mereposisikan diri sebagai manusia yang manusiawi. Hukum dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan yang sifatnya mengatur dan memaksa, yang jika dilanggar akan berakibat diambilnya tindakan berupa sanksi.
Kesadaran akan Hukum ini bisa terwujud apabila dari subjek hukum (orang atau badan hukum) terlebih dahulu mengerti akan makna dan filosofi dari suatu peraturan yang berlaku, karena jikalau subjek hukum ini buta terhadap aturan yang dibuat, maka sudah pasti akan timbul ditengah masyarakat yang namanya permasalahan hukum, baik permasalahan hukum secara vertikal maupun horizontal.
Hakekatnya hukum dibentuk adalah untuk mengatur serta menciptakan rasa perdamaian dan keadilan, serta menjaga stabilitas keamanan ditengah-tengah masyarakat.
Seperti yang telah disampaikan diatas maka kesadaran hukum erat hubungannya dengan hukum, sedang hukum adalah manifestasi dari kebudayaan.
Kebudayaan merupakan suatu ”blueprint of behaviour” yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Dengan demikian maka kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai.
Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan.
Oleh karena itu, setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan pembinaan yang utama, efektif dan efisien ialah dengan pendidikan, pembinaan serta penyuluhan hukum.
Apabila kita cermati dengan lemahnya pemahaman akan maksud yang terkandung dalam pengertian sadar akan hukum tersebut, sangat banyak ditemukan kasus-kasus yang melibatkan bukan saja orang dewasa sebagai pelakunya, melainkan anak dibawah umur sudah terkena dampak atau efek dari lemahnya pemahaman akan hukum.
Penyakit-penyakit masyarakat seperti mencuri, membunuh, korupsi dan yang marak-maraknya saat ini adalah permasalahan Terorisme dan Radikalisme, semua itu merupakan manifestasi dari lemahnya tingkat kesadaran hukum suatu masyarakat.
Kalau sudah anak yang menjadi bagian dari permasalahan hukum, yang mana anak ini merupakan cita-cita penerus bangsa, mau dikemanakan lagi negara ini jika yang menjadi “Hero” suatu hari nanti sudah tidak dapat lagi diandalkan guna mengurus negara yang besar ini.
Kemajuan suatu negara salah satunya sangat ditentukan oleh tingginya tingkat kesadaran hukum masyarakatnya. Pada skala ini kesenjangan-kesenjangan jelas dapat ditekan seminim mungkin, sehingga pembangunan disegala sektor dapat berjalan pada rel yang telah ditetapkan tanpa memikirkan lagi kekhawatiran akan terjadi permasalahan hukum.
Hal yang sebaliknya jika suatu masyarakat atau negara acuh atau rendah tingkat kepeduliannya terhadap kesadaran hukum, maka yang terjadi adalah hukum rimba, ketidakadilan, kesewenang-wenangan bahkan hingga tingginya tingkat kemiskinan.
Kesadaran hukum dalam setiap individu merupakan faktor penting kepatuhan hukum, sedangkan kepatuhan hukum menjadi hal esensi kemajuan hukum.
Kepatuhan sendiri masih dapat dibedakan kualitasnya menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu, 1) Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya ia takut terkena sanksi. 2) Ketaatan yang bersifat identification yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak, dan 3) Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Untuk meningkatkan kesadaran hukum guna melahirkan kepatuhan hukum, jelas diperlukan adanya paradigma berfikir yang terstruktur dalam bentuk pembinaan serta penyuluhan hukum sejak dini agar warga masyarakat benar-benar mengetahui atau mengerti kegunaan atau manfaat dari peraturan hukum itu sehingga warga masyarakat dengan suka rela mentaati dan mematuhi peraturan hukum tersebut.
Saat ini masyarakat sebenarnya sudah sangat mudah mengakses peraturan-peraturan hukum, dengan hanya membuka internet lewat smart phone, mereka sudah bisa mengarungi pelbagai peraturan-peraturan (hukum positif) yang berlaku di Indonesia maupun dunia internasional baik yang baru ditetapkan maupun yang sudah usang.
Permasalahannya yang sering dihadapai adalah tingkat kecerdasaan serta kemauan belajar dari masyarakat tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Embrio-embrio seperti itu seyogyanya cepat diantisipasi oleh Pemerintah dengan jalan memperbesar arus pembinaan serta penyuluhan hukum untuk masyarakat-masyarakat yang kurang paham akan kemajuan dibidang tekhnologi.
Kita juga mengapresiasi kerja keras dari pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mencerdaskan serta membuka belenggu terhadap ketidaktahuan atas hukum, akan tetapi tanggung jawab itu sebenarnya harus juga dipikul oleh semua lapisan masyarakat agar pemahaman dan kepatuhan akan hukum bisa terealisasi dengan baik.
Dalam menciptakan kesadaran hukum yang nantinya akan berdampak pada kepatuhan hukum, maka keharmonisan peran lembaga penegakan hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam hal pemberian sanksi harus tegas tanpa pandang bulu atau intervensi pihak lain.
Eksistensi lembaga-lembaga pemerintah secara integritas begitu penting untuk mengawal eksistensi hukum.
Menurut Soerjono Soekanto, “indikator-indikator dari kesadaran hukum sebenarnya merupakan petunjuk yang relatif kongkrit tentang taraf kesadaran hukum. Dijelaskan lagi secara singkat bahwa, a) Indikator pertama adalah pengetahuan hukum Seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum, b) Indikator kedua adalah pemahaman hukum Seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar dari masyarakat tentang hakikat dan arti pentingnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, c)Indikator yang ketiga adalah sikap hukum Seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum, dan d) Indikator yang keempat adalah perilaku hukum, yaitu dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat warganya mematuhi peraturan yang berlaku.
Keempat indikator tadi sekaligus menunjukkan tingkatan-tingkatan pada kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya. Apabila seseorang mengetahui hukum. maka bisa dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukumnya masih rendah. Tetapi jikalau seseorang atau suatu masyarakat telah berperilaku sesuai hukum, maka tingkat kesadaran hukum nya telah tinggi”.
Pakar hukum Universitas Gajah Mada Yogyakara, RM. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa, “kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang seyogyanya tidak kita lakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum”.
Problema dari kesadaran hukum sebagai landasan memperbaiki sistem hukum adalah, kesadaran hukum bukan merupakan pertimbangan rasional, atau produk pertimbangan menurut akal, namun berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, seperti faktor agama, ekonomi, politik dan sebagainya, dan pandangan ini selalu berubah.
Oleh karena itu kesadaran hukum merupakan suatu proses psikhis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi,tentang asas kesadaran hukum, ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan.
Begitu pentingnya kesadaran hukum di dalam memperbaiki sistem hukum, maka tak heran dari tokoh-tokoh mazhab sejarah seperti Krabbe dan Kranenburg bersikukuh mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan satu-satunya sumber hukum.
Bahkan Paul Scholten sendiri yang melahirkan teorinya tentang kesadaran hukum disebut Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn dengan tegasnya menyatakan bahwa, kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum.
Selengkapnya Paul Scholten mengatakan, Met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoordeel over eenig concreet geval, doch het in ieder mensch levend bewustzijn van wat recht is of behoort tezijn, een bepaalde categorie van ons geestesleven, waardoor wij met onmiddellijke evidentie losvan positieve instellingen scheiding maken tusschen recht en onrecht, gelijk we dat doen tusschenwaar en onwaar, goed en kwaad, schoon en leelijk.
Pandangan Scholten di atas pada intinya menjelaskan kepada kita bahwa istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup pada manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum.
Oleh karenanya eksistensi hukum memang sehurusnya diketahui dan dipahami oleh pemerintah maupun lapisan masyarakat. Tidak ada kata untuk tidak mau tahu akan hukum, karena hukum dibuat untuk wajib diketahui, tidak ada alasan bagi setiap warga Negara untuk tidak mengetahui aturan yang telah dibuat.
Jangan kita berbuat tetapi tidak mengerti hukum yang mengatur. Sistem hukum positif kita tidak mau tahu dan tidak pandang bulu dengan alasan klasik seperti itu. Makanya ada pepatah lama yang mengatakan “sediakan payung sebelum hujan“ dengan terjemahan bebasnya ialah “mengerti hukumnya baru melakukan“.
Saat ini tidak penting lagi untuk kita menyalahkan orang lain, awalilah dari diri kita masing-masing. Tidak perlu juga untuk mempermasalahkan kasus-kasus besar yang sudah terjadi, akan tetapi, mari kita awali dengan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran sekecil apapun, demi terciptanya masyarakat berbudaya hukum dimasa yang akan datang.
(*)