Tanjungpinang, LintasKepri.com – Dari tadi pagi cuaca begitu cerah, udara sepekan biasanya sangat dingin, namun hari ini terasa sangat panas. Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini, Minggu (1/5) hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah.
Di perempatan Jalan DI Panjaitan Kilometer 9, Ardian (10), seorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnya tergoreng panasnya matahari, hanya saja dia selalu menggunakan topi agar terik matahari tak menembus kepalanya.
“Korannya bu !”seru Ardian berusaha mengalahkan suara deru mesin kendaraan.
Dari balik kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berpanas-panasan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang.
“Mau koran yang mana bu?,” tanya Ardian dengan riang.
”Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca,” jawab si ibu disampingku saat mengambil gambarnya, siang itu
Si Ardian kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, ”Terima kasih bu, saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya,” Ardian berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu ”Udah miskin sombong!”. Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan warna hijau. Meninggalkan Ardian yang termenung penuh tanda tanya.
“Sudah biasa om, orang kaya,” katanya kepada LintasKepri.com
Seketika hujan turun begitu deras, Ardian berlari ke pinggir tembok seberang jalan, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh. Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan di depannya, ”Ya Tuhan, hari ini belum satupun koranku yang laku”, gumamnya lemah.
Biasanya sehari dia dapat meraup untung Rp.30 ribu rupiah, yang kemudian disetorkan kepada kepala distribuutor salah satu media cetak terbesar di Kota Tanjungpinang ini.
“Kalau laku semua dapatlah Rp.30 ribu, sore saya antar sama Pak Bos,” katanya.
Hari beranjak sore, namun hujan belum juga reda, Ardian masih saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar. Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah.
”Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk,” dengan penuh kebencian dicampakkannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke mobil.
Segera Ardian dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil. ”Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapak buang untuk saya makan,” pinta Ardian dengan penuh harap. Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.
“Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau”
”Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya, boleh khan pak?, tanya Ardian sekali lagi.”Bbbbbooolehh”, jawab pria tersebut dengan tertegun. Ardian berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Ardian yang sedang makan. Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Ardian.
”Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus meminta ijinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?, dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh perasaan kasihan.”Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya ”, jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.
Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa. ”Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya”. Si anak kecil tersenyum dengan manis,
”Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya mencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan hanya akan jadi makanan tikus.”
”Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran di mana aku yang akan mentraktirnya”, ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berfikir keliru.
Ardian menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yang sangat teduh, sembari berkata ”Bapak!, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya,” Ardian memperbaiki posisi duduknya dan berkata kembali, ”Dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup atas anugerah hari ini, bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali di kemudian hari.” Ardian berhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki di depannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Ardian melanjutkan kembali,” Kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya saya menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya,” sebutnya.
Pria tersebut masih saja terpana, dia mengamati anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi.”Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layak dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini,” ungkapnya. (Aji Anugraha)