Pembangunan kerap dianggap sebagai tanda kemajuan, seolah menjadi satu-satunya jalan menuju kesejahteraan nasional. Namun, di balik jargon “Proyek Strategis Nasional” (PSN) yang digembar-gemborkan pemerintah, ada kisah senyap dari tepian negeri, kisah tentang Suku Laut di Bintan, Kepulauan Riau, yang kini kehilangan ruang hidupnya akibat ekspansi industri dan reklamasi pesisir. Dalam diam, mereka berhadapan dengan kenyataan pahit: laut yang dulu memberi hidup kini perlahan dirampas atas nama pembangunan.
Suku Laut bukan sekadar komunitas nelayan, mereka adalah bagian dari masyarakat adat pesisir yang telah hidup turun-temurun di atas perahu dan pesisir Pulau Bintan. Bagi mereka, laut bukan hanya sumber ekonomi, melainkan ruang budaya, spiritual, dan identitas kolektif. Namun, kehadiran PSN di wilayah mereka meliputi proyek pelabuhan, kawasan industri, dan reklamasi, telah menyingkirkan mereka dari ruang hidup alami. Kawasan tangkap ikan mereka dipersempit, hutan mangrove yang melindungi pesisir ditebang, bahkan beberapa situs makam leluhur tergenang akibat pengerukan laut. Mereka kehilangan bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga makna hidup yang diwariskan oleh leluhur.
Ironinya, semua itu dilakukan dengan legitimasi hukum yang tampak sah. Padahal, di balik itu tersembunyi persoalan mendasar: hak-hak ekologis dan sosial masyarakat adat tidak diakui secara utuh dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan proyek. Suku Laut seolah tidak dianggap sebagai subjek hukum yang memiliki hak konstitusional atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam berbagai proses perizinan dan konsultasi publik, posisi mereka kerap hanya dijadikan formalitas administratif, bukan sebagai pihak yang memiliki kepentingan hukum nyata.
Konstitusi kita secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Akan tetapi, dalam praktiknya, hak tersebut sering kali bersifat individualistik dan terpisah dari konteks sosial budaya masyarakat adat. Dalam kasus Suku Laut, yang mereka perjuangkan bukan sekadar kebersihan air laut atau keberadaan ikan, tetapi hak kolektif ekologis, hak untuk hidup dalam relasi ekologis yang utuh dengan laut, hutan bakau, dan sistem adat mereka sendiri. Sayangnya, kerangka hukum kita belum mengatur secara eksplisit bentuk hak ekologis kolektif tersebut. Akibatnya, klaim masyarakat adat kerap dianggap tidak memiliki dasar hukum kuat, sementara investasi besar selalu memiliki dokumen legal yang lengkap di atas kertas.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki berbagai perangkat hukum yang mengatur pengakuan masyarakat adat dan perlindungan wilayah pesisir, seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Permen LHK No. P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Namun, regulasi-regulasi tersebut masih bersifat sektoral dan belum membentuk mekanisme konkret untuk melindungi hak ekologis masyarakat adat pesisir secara komprehensif. Dalam konteks proyek besar seperti PSN, masyarakat lokal sering kali hanya menjadi objek konsultasi administratif tanpa pelibatan yang bermakna. Padahal, pelibatan substantif masyarakat merupakan syarat mutlak agar pembangunan berjalan sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Hukum internasional bahkan telah memberikan panduan jelas melalui prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007). Prinsip ini menegaskan bahwa setiap proyek yang memengaruhi wilayah adat harus mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi lengkap dari masyarakat terdampak. Namun, prinsip ini sering diabaikan dalam praktik pembangunan di Indonesia, termasuk dalam kasus Bintan. Konsultasi publik lebih sering menjadi formalitas administratif yang hanya memenuhi syarat perizinan, bukan alat perlindungan substantif.
Kasus Suku Laut menunjukkan adanya ketimpangan struktural antara kepentingan ekonomi negara dan hak masyarakat adat. Negara berkewajiban menjalankan pembangunan, tetapi dalam waktu bersamaan juga terikat kewajiban konstitusional untuk melindungi rakyatnya, termasuk mereka yang hidup di wilayah pesisir. Ketika proyek besar dijalankan tanpa perlindungan ekologis yang memadai, maka negara sedang melanggar prinsip ecological rule of law, yakni hukum yang menempatkan keseimbangan ekologis sebagai dasar dari setiap tindakan pemerintahan. Hukum seharusnya tidak tunduk pada kekuatan modal, tetapi menjadi penuntun moral bagi pembangunan yang berkeadilan.
Persoalan Bintan seharusnya menjadi peringatan keras bahwa pembangunan tanpa keadilan ekologis hanya akan menghasilkan ketimpangan baru. Suku Laut kehilangan lautnya, nelayan kehilangan tangkapannya, dan generasi muda kehilangan akar budayanya. Inilah bentuk maladministrasi ekologis, ketika kebijakan publik gagal menjamin partisipasi dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Negara tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan masyarakat yang hidup dari laut, sebab laut adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa maritim Indonesia.
Solusi hukum atas persoalan ini tidak cukup dengan kompensasi atau relokasi. Yang dibutuhkan adalah rekonstruksi hukum lingkungan nasional agar mampu mengakui dan melindungi hak ekologis masyarakat adat pesisir. Negara harus segera menyusun peraturan turunan dari UU PPLH yang memuat pengakuan eksplisit terhadap hak ekologis kolektif. Selain itu, perlu dibentuk mekanisme lintas sektor yang mewajibkan penerapan prinsip FPIC sebagai syarat legalitas proyek di wilayah pesisir. Pengawasan pelaksanaan FPIC harus melibatkan lembaga independen agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan antara investor dan pemerintah daerah.
Selain langkah normatif, penguatan kapasitas masyarakat juga penting. Masyarakat adat pesisir perlu diberi ruang pendidikan hukum dan lingkungan agar mampu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pemerintah daerah dapat menjadi ujung tombak dengan membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Masyarakat Adat Pesisir, seperti yang mulai diterapkan di Bali dan Maluku. Dukungan dari perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil juga diperlukan untuk memperkuat advokasi berbasis data dan hukum. Jika langkah-langkah ini dilakukan, maka pembangunan bisa berjalan tanpa menghapus jejak budaya dan ekologi lokal.
Keadilan ekologis bukan konsep utopis. Ia adalah keniscayaan moral dan hukum dalam negara yang berdasar Pancasila. Sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tidak akan bermakna bila keadilan itu berhenti di daratan dan tidak menjangkau laut tempat Suku Laut menggantungkan hidup. Sudah saatnya kita berhenti memandang masyarakat adat pesisir sebagai “penghalang investasi” dan mulai melihat mereka sebagai penjaga peradaban ekologis bangsa. Menghormati hak mereka bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang.
Negara harus hadir bukan hanya sebagai pengatur pembangunan, tetapi sebagai pelindung kehidupan. Sebab, pembangunan yang mengabaikan manusia dan lingkungan bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran yang dibungkus retorika ekonomi. Jika hukum adalah panglima, maka biarlah hukum berpihak pada mereka yang paling rentan—mereka yang suaranya paling lemah di tengah riuhnya klaim kemajuan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi “apakah kita akan membangun”, tetapi “bagaimana kita membangun tanpa menghancurkan”. Bila negara sungguh berpihak pada keadilan ekologis, maka laut Bintan tidak akan menjadi kuburan bagi masa depan Suku Laut, melainkan simbol kebangkitan hukum yang berkeadilan bagi semua.