Opini  

RUU TNI: Langkah “Mundur Teratur” Menuju Demokrasi Semu, Ketika Reformasi Dikubur, Militer Kembali Bertakhta

Oleh: Pj Ketua Umum HMI Tanjungpinang-Bintan Tomi Suryadi

Muhammad Faiz
Pj Ketua Umum HMI Tanjungpinang-Bintan, Tomi Suryadi. Foto: Dok. Pribadi

Lintaskepri.com – Selamat Datang di Era Reformasi Rasa Orde Baru Indonesia, negeri yang konon sudah beranjak dari bayang-bayang Orde Baru, kini tampaknya kembali ke titik nol.

Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah digodok di parlemen bukan sekadar perubahan regulasi biasa, melainkan sebuah upaya sistematis untuk membuka pintu lebar-lebar bagi militer dalam menguasai ranah sipil.

Apakah ini kebetulan? Tentu tidak. Apakah ini bagian dari strategi penguasa untuk memastikan kontrol mutlak terhadap negara? Bisa jadi.

Dengan dalih “efektivitas birokrasi”, pemerintah ingin menambah daftar jabatan sipil yang bisa diisi oleh perwira TNI aktif. Dari 10 jabatan yang sebelumnya diperbolehkan, kini jumlahnya naik menjadi 16, termasuk di lembaga-lembaga strategis seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Yang jadi pertanyaan: apakah negara ini kekurangan orang sipil yang kompeten, atau justru ada keinginan terselubung untuk menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang sudah dikubur sejak reformasi?

Sejarah mencatat bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan bukanlah formula sukses, melainkan bencana yang tertunda. Dari masa Orde Baru hingga berbagai rezim otoriter di dunia, semakin besar peran militer dalam birokrasi sipil, semakin rentan negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan pembungkaman oposisi.

Kita sudah melihat contoh nyata. Skandal pengadaan alat utama sistem persenjataan pada 2016, kasus suap proyek satelit Kementerian Pertahanan tahun 2021 yang merugikan negara Rp453 miliar—ini bukti bahwa TNI juga tidak kebal dari praktik kotor birokrasi. Dan kini, pemerintah justru ingin memberi mereka lebih banyak akses ke jabatan sipil?

Jika reformasi 1998 dimaksudkan untuk menghapus dominasi militer dalam kehidupan sipil, maka RUU ini adalah tamparan keras bagi perjuangan rakyat. Atau mungkin, penguasa saat ini berpikir bahwa rakyat sudah lupa bagaimana rasanya hidup di bawah kendali militer?

RUU TNI: Antara “Peningkatan Efektivitas” dan Perebutan Kekuasaan

Dalih yang digunakan pemerintah untuk mendorong revisi UU TNI ini adalah untuk “meningkatkan efektivitas birokrasi.” Tapi mari kita berpikir logis: sejak kapan menambah peran militer dalam pemerintahan menjadi solusi bagi lambannya birokrasi?

Apakah penyebab buruknya layanan publik di Indonesia adalah kurangnya perwira militer dalam kementerian? Tentu tidak. Yang menjadi masalah adalah sistem yang korup, tata kelola yang buruk, dan pemimpin yang lebih sibuk mengamankan kepentingan politik ketimbang melayani rakyat. Jadi, mengapa solusi yang ditawarkan justru melibatkan institusi yang seharusnya fokus pada pertahanan negara?

Jangan-jangan, ini bukan soal efektivitas, melainkan soal kendali. Militer adalah alat kekuasaan yang ampuh. Dengan menempatkan lebih banyak perwira di jabatan sipil, pemerintah bisa mengamankan stabilitas politik mereka dengan lebih mudah. Kritik bisa ditekan, oposisi bisa diawasi, dan kontrol terhadap negara semakin erat dalam genggaman mereka.

Pada masa Orde Baru, militer bukan hanya bertugas menjaga pertahanan negara, tetapi juga mengatur jalannya pemerintahan. Mereka menduduki posisi di kementerian, DPR, bahkan sektor ekonomi. Akibatnya? Demokrasi mati, kritik dibungkam, dan negara hanya melayani kepentingan segelintir elit.

RUU TNI ini membawa kita kembali ke pola yang sama. Jika perwira aktif bisa duduk di kursi-kursi strategis tanpa perlu pensiun lebih dulu, maka batas antara militer dan sipil akan semakin kabur. Perlahan tapi pasti, kita akan kembali ke era di mana kebijakan publik lebih ditentukan oleh pendekatan militeristik ketimbang pertimbangan demokratis.

Mungkin pemerintah berpikir rakyat tidak sadar dengan apa yang sedang terjadi. Tapi mari kita perjelas: ini bukan sekadar revisi undang-undang, ini adalah strategi licik untuk memperluas cengkeraman kekuasaan.

Jika revisi ini lolos tanpa perlawanan berarti, maka kita harus bersiap menghadapi konsekuensi jangka panjang:

1. Militerisasi Birokrasi – Dengan semakin banyak perwira TNI di posisi sipil, pendekatan militeristik dalam pengambilan kebijakan akan semakin dominan. Bukannya mengutamakan transparansi dan dialog, kebijakan akan lebih sering diputuskan secara sepihak dengan dalih “kepentingan negara.”

2. Pelemahan Oposisi – Jika militer mulai mengambil alih posisi strategis, kritik terhadap pemerintah bisa lebih mudah direpresi. Siapa yang berani mengkritik kebijakan jika orang yang duduk di jabatan itu punya latar belakang militer?

3. Korupsi dan Konflik Kepentingan – Dengan keterlibatan militer yang semakin luas dalam urusan sipil, pengawasan terhadap penggunaan anggaran bisa semakin sulit. Bukti sudah ada di masa lalu—proyek-proyek pertahanan yang berujung korupsi, pengadaan alat perang yang tidak transparan, semuanya bisa semakin menjadi-jadi jika militer memiliki lebih banyak ruang dalam birokrasi.

4. Kemunduran Reformasi – RUU ini adalah pukulan telak bagi semangat reformasi. Jika kita diam, maka bukan tidak mungkin dalam waktu dekat kita akan melihat lebih banyak kebijakan yang mengarah pada penguatan kembali dominasi militer dalam kehidupan sipil.

Di tengah kemunduran demokrasi yang sedang terjadi, mahasiswa seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap kebijakan ini. Jika pada 1998 mahasiswa bisa menggulingkan rezim otoriter, mengapa sekarang kita diam melihat kebijakan yang perlahan-lahan mengembalikan Indonesia ke arah yang sama?

Ada banyak cara untuk melawan:
Mengedukasi masyarakat tentang bahaya kebijakan ini melalui media sosial dan diskusi publik.

Menekan DPR dan pemerintah dengan aksi demonstrasi dan petisi untuk menghentikan revisi UU TNI yang berbahaya ini.

Membuat kajian akademik yang mengungkap dampak negatif dari keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil.

Karena jika kita tidak melakukan apa-apa sekarang, maka dalam beberapa tahun ke depan kita mungkin akan bertanya-tanya, “Mengapa negara ini kembali seperti dulu?”

RUU TNI bukanlah solusi bagi masalah birokrasi. Ini adalah strategi untuk memperkuat kendali militer dalam pemerintahan sipil, sebuah langkah yang sangat berbahaya bagi demokrasi.

Jika pemerintah benar-benar peduli pada reformasi, seharusnya mereka mencari cara untuk meningkatkan efisiensi birokrasi tanpa harus menyeret militer ke dalamnya. Tapi jika tujuan mereka adalah mempertahankan kekuasaan dengan memastikan kontrol yang lebih besar atas negara, maka jelas bahwa revisi ini adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Demokrasi tidak mati dalam semalam, tapi melalui serangkaian kebijakan yang secara perlahan menggerogoti kebebasan sipil. RUU ini adalah salah satunya. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan membiarkan hal ini terjadi begitu saja?. (*)

Simak Berita Terbaru Langsung di Ponselmu! Bergabunglah dengan Channel WhatsApp Lintaskepri.com disini