Lintaskepri.com – Manusia sebagai mahluk setelah lahir di atas dunia tidak bisa lepas dari berbagai risiko. Inilah yang disebutkan dalam kaidah fiqih ekonomi Islam al-ghunmu bi al-ghurmi “setiap manfaat selalu disertai risiko”. Bulan suci Ramadan merupakan momen penting bagi umat Islam untuk menyempurnakan amal ibadah.
Puasa menjadi bentuk hablum minallah (hubungan dengan Allah), sedangkan zakat mencerminkan hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia).
Zakat adalah kewajiban individu Muslim (fardu ‘ain) bagi mereka yang memenuhi syarat untuk berzakat. Kewajiban ini ditetapkan pada tahun kedua Hijriah, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an:
“Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Maulana Muhammad Zakaria dalam Kitab Fadha’il Shadaqah menyebutkan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat 82 ayat yang mengaitkan perintah salat dengan zakat.
Para ulama pun sepakat bahwa mengingkari salah satunya berarti telah kufur, karena zakat merupakan salah satu rukun Islam yang fundamental.
Orang memenuhi kewajiban zakatnya akan mendapatkan keutamaan zakat yaitu menyucikan harta serta mendatangkan kemaslahatan bagi muzaki dan mustahik (asnaf penerima zakat).
Bagi muzaki, zakat berperan dalam membersihkan jiwa dari sifat kikir, menjaga harta dari musibah, mendatangkan kesehatan, serta meningkatkan keberkahan. Sementara itu, bagi mustahik, zakat menjadi instrumen distribusi kekayaan yang berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan, penguatan solidaritas sosial, serta akselerasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Dengan demikian, zakat tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme ekonomi dan sosial yang strategis dalam mewujudkan kesejahteraan umat.
Menurut World Population (2025), jumlah umat Islam di dunia mencapai 1.978.183.991 jiwa yang tersebar di 227 negara. Indonesia menempati peringkat pertama dengan populasi Muslim terbesar, yaitu 242.700.000 jiwa atau sekitar 12,27% dari total Muslim dunia.
Dengan jumlah yang demikian besar, Indonesia memiliki potensi strategis dalam pengelolaan zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi umat. Namun, praktik penghimpunan zakat di Indonesia masih didominasi oleh zakat fitrah, sementara potensi zakat lainnya (maal) belum dimanfaatkan secara optimal.
Penelitian Permasalahan dan Solusi Pengelolaan Zakat di Indonesia oleh Risnawati dkk (2023), dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar mengungkap bahwa salah satu kendala utama dalam pengelolaan zakat adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kewajiban zakat dan urgensi alokasi sebagian harta untuk kepentingan sosial dan keagamaan.
Kondisi ini menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar zakat masih rendah, sehingga potensi penghimpunan zakat yang seharusnya dapat menjadi sumber dana produktif bagi kesejahteraan umat tidak terealisasi secara maksimal.
Menunaikan zakat tidak hanya merupakan kewajiban ibadah, tetapi juga bagian dari sistem sosial dalam Islam yang bertujuan menciptakan keseimbangan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketika seseorang mengabaikan kewajiban zakat, berbagai risiko dapat muncul, baik dalam aspek kehidupan dunia maupun akhirat.
Secara analogis, jika seseorang terus mengonsumsi makanan tanpa pernah mengeluarkan sisa metabolisme, maka kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan “masuk terus tidak ada keluar”.
Demikian pula, dalam konteks sosial dan ekonomi, apabila harta hanya dikumpulkan tanpa didistribusikan melalui zakat, ketimpangan sosial dan ekonomi akan semakin meningkat, menghambat terciptanya kesejahteraan yang berkeadilan.
Hal ini sejalan dengan hadis Rasululuah dalam kitab Durrul Mansur dari Ali R.a “sesungguhnya Allah swt telah mewajibkan kepada orang-orang kaya dari kalangan umat Islam satu kadar dalam hartanya (zakat) yang dapat mencukupi orang-orang fakir diantara mereka dan tidak ada sesuatu yang menyusahkan orang-orang fakir itu jika mereka kelaparan atau tidak berpakaian, kecuali karena terhalang oleh orang-orang kaya yang tidak membayar zakat.
Ingatlah bahwa Allah Swt akan menghisab mereka dengan keras atau mengadzab mereka dengan pedih.
Oleh karena itu umat Islam apabila meninggalkan kewajiban zakat, akan dihadapkan dengan 5 potensi risiko yaitu;
1. Risiko di Dunia
a. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Zakat adalah instrumen yang dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Ketika zakat tidak ditunaikan, hak-hak mustahik (penerima zakat) terabaikan, sehingga tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial semakin meningkat.
b. Timbulnya Keserakahan dan Ketidakpedulian Sosial
Zakat berfungsi untuk membersihkan jiwa dari sifat kikir dan menumbuhkan rasa empati terhadap sesama. Jika zakat ditinggalkan, sifat serakah dan individualisme akan semakin berkembang dalam masyarakat.
c. Mengundang bala dari Allah
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadist Al-Hakim dan Al-Baihaqi “Apabial suatu kaum menolak membayar zakat maka Allah akan menahan hujan bagi mereka”. Meninggalkan zakat tidak hanya berdampak pada individu yang enggan menunaikannya (muzaki), tetapi juga dapat membawa risiko bagi masyarakat secara keseluruhan.
Ancaman tertahannya hujan, dalam hadis lain mengundang paceklik sebagai akibat dari kelalaian dalam berzakat menegaskan bahwa zakat memiliki peran sosial yang luas, bukan sekadar ibadah individu. Oleh karena itu, dakwah zakat menjadi penting untuk mendorong kesadaran kolektif dalam menunaikan kewajiban ini guna menjaga kesejahteraan bersama.
2. Risiko di Akhirat
a. Azab yang Pedih di Hari Kiamat
Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang enggan menunaikan zakat diberikan kabar gembira akan mendapatkan azab yang pedih: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (penggalan QS. At-Taubah: ayat 34).
b. Siksaan Spesial pada hari kiamat
Rasulullah ﷺ bersabda:
Dalam Kitab Fadha’il Shadaqah dijelaskan bahwa terdapat hadis-hadis yang menerangkan berbagai bentuk siksa bagi harta yang tidak dizakati.
Di antaranya, harta tersebut akan dipanaskan hingga menjadi lempengan emas dan perak, lalu digunakan untuk menyetrika lambung, dahi, dan punggung pemiliknya selama 1 hari di akhirat (50.000 ukuran dunia). Hadis lain hartanya akan dijadikan seekor ular yang botak dan berbisa yang dikalungkan di leher pemiliknya.
Pada akhirnya kita dapat memahami bahwa zakat bukan sekadar kewajiban ibadah, tetapi juga instrumen ekonomi dan sosial yang didisain Tuhan bagi umat Islam untuk menciptakan keseimbangan bagi kehidupan umat-Nya.
Meninggalkannya tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menimbulkan risiko ketimpangan sosial, krisis ekonomi, serta ancaman azab di akhirat. Oleh karena itu, secara individu (owner risk-muzaki) menunaikan zakat merupakan jalan untuk menghindari risiko dan menjadi kunci bagi keberkahan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.
Mari jadikan akhir Ramadan 1446 Hijriah sebagai momentum puncak untuk menunaikan zakat harta kita sehingga penyempurna amal kita. (*)