Lintaskepri.com – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia yang telah melahirkan banyak tokoh bangsa dari berbagai sektor kehidupan.
Sejak didirikan oleh Lafran Pane pada 5 Februari 1947, HMI telah menjadi kawah candradimuka bagi terbentuknya insan-insan akademis yang berintegritas tinggi, berjiwa kepemimpinan, serta memiliki komitmen terhadap nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.
Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan digitalisasi yang melanda kehidupan generasi muda, HMI kini menghadapi tantangan serius yakni melemahnya semangat kader untuk menjalani proses perkaderan.
Banyak kader baru yang tergoda dengan jalan pintas untuk menjadi “hebat” dalam organisasi tanpa melalui tahap-tahap perjuangan yang konsisten dan berkesinambungan.
Mereka ingin cepat menjadi pengurus, tampil di mimbar, memimpin komisariat atau cabang, namun tidak sabar membentuk jati diri dan kapasitas intelektual melalui proses kaderisasi yang telah menjadi ruh HMI sejak awal berdiri.
Sejak awal, HMI menempatkan kaderisasi sebagai roh organisasi. Proses panjang ini tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga melatih kedisiplinan, kepemimpinan, dan nilai keikhlasan dalam perjuangan.
Di sinilah kekuatan HMI terletak pada pembentukan karakter melalui tempaan proses, bukan pencapaian instan.
Namun, idealisme tersebut kini mulai tergerus seiring masuknya generasi baru yang dibentuk oleh budaya digital dan serba instan.
Era media sosial dan penetrasi teknologi informasi membawa serta nilai-nilai baru yang tidak sepenuhnya sejalan dengan semangat perjuangan HMI. Generasi muda saat ini cenderung menginginkan hasil yang cepat tanpa melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan.
Dalam konteks tersebut, HMI menghadapi tantangan besar dimana Semangat kaderisasi yang dulu dijunjung tinggi kini mulai melemah. Banyak kader baru yang lebih tertarik pada outcome daripada proses.
Mereka ingin cepat dikenal, cepat naik jabatan, cepat tampil sebagai pemimpin, namun tidak sabar menjalani proses pembentukan diri yang menjadi fondasi utama organisasi. Forum-forum perkaderan seperti Latihan Kader 1, Latihan Kader 2, bahkan diskusi mingguan, tidak lagi menjadi kebutuhan intelektual yang dinantikan, melainkan hanya dianggap sebagai formalitas struktural.
Padahal, di sinilah ruh HMI seharusnya hidup. Fenomena ini sering kali melahirkan kader-kader yang “besar secara posisi, tetapi kecil secara kapasitas.” Mereka memiliki gelar struktural dalam himpunan, tetapi belum terasah secara ideologis dan moral. Mereka mungkin aktif secara administratif, tetapi pasif secara pemikiran.
Mereka mudah kecewa jika tidak mendapatkan jabatan, tetapi enggan mengambil peran dalam kerja-kerja kolektif yang membutuhkan keikhlasan. Padahal, sejarah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar HMI lahir dari tempaan yang tidak singkat.
Mereka melewati proses kaderisasi dengan serius, tekun membaca, aktif berdiskusi, dan menjadikan himpunan sebagai ruang aktualisasi nilai.
Seperti yang dikatakan Cak Nur, “Dalam HMI, proses adalah pembentukan karakter. Tanpa proses, kader hanya akan jadi nama dalam struktur, bukan jiwa dalam perjuangan.” Ungkapan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan refleksi penting untuk generasi kader hari ini.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah kader HMI hari ini siap menjadi anggota, tapi tidak siap berproses? Apakah semangat keikhlasan dan perjuangan yang menjadi ciri khas himpunan mulai memudar tergantikan ambisi personal yang instan?.
Budaya Instan dan Krisis Ghiroh Kaderisasi
Kita hidup di era serba instan di mana semuanya serba cepat, serba mudah, dan serba langsung. Teknologi digital telah mengubah cara kita hidup, belajar, berkomunikasi, hingga membangun eksistensi diri.
Segalanya bisa dicapai dengan satu sentuhan jari, makanan bisa dipesan tanpa keluar rumah, pengetahuan bisa didapat tanpa membuka buku, bahkan popularitas bisa dibangun tanpa kerja keras intelektual.
Sayangnya, pola pikir serba instan ini mulai menyusup ke dalam sendi-sendi organisasi perjuangan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Budaya instan ini perlahan menggerus semangat fundamental yang selama ini menjadi ciri khas HMI yakni proses panjang yang menumbuhkan nilai, kesabaran, dan pengabdian.
Kini, semakin banyak kader yang lebih tertarik pada hasil akhir daripada perjalanan yang harus dilalui. Mereka ingin cepat dikenal sebagai aktivis, cepat naik jabatan, cepat menjadi pengurus, tetapi enggan mengikuti forum-forum perkaderan secara serius. Mereka hadir di Latihan Kader (LK) tanpa benar-benar menghayati nilai yang diajarkan.
Diskusi ditinggalkan, kajian keislaman diabaikan, bahkan forum intelektual hanya ramai saat “wajib absen”. Aktivitas kaderisasi yang seharusnya menjadi ruang pembentukan jati diri, kini dipandang semata sebagai formalitas administratif.
Dampak dari budaya instan ini sangat serius dan menyentuh jantung organisasi. Ia menciptakan kader yang pasif secara intelektual, pragmatis dalam berorganisasi, dan kosong secara ideologis.
Kader-kader semacam ini lebih suka tampil di depan mimbar atau media sosial, namun tidak siap menyusun argumen dalam forum ilmiah. Mereka mengejar pujian bukan pemahaman, mencari posisi bukan kontribusi, mengincar pengaruh bukan pengabdian.
Akibatnya, HMI terancam mengalami krisis regenerasi ideologis.
Organisasi menjadi ramai secara struktural, tapi sepi secara substansi. Ramai dalam jabatan, tapi hampa dalam visi. Lebih jauh, pola pikir instan ini juga melahirkan kader yang mudah kecewa dan gampang menyerah.
Ketika tidak mendapatkan posisi atau eksistensi yang mereka harapkan, mereka memilih menjauh bahkan hengkang dari himpunan.
Bagi mereka, tidak ada gunanya bertahan jika tidak “nampak”.
Padahal, esensi kaderisasi adalah ketekunan dalam proses, bukan pencapaian instan. Seperti api yang membentuk besi, proses perkaderan dalam HMI harusnya menjadi ruang tempa yang menguatkan prinsip dan karakter, bukan sekadar ruang tunggu menuju jabatan.
Fenomena ini berbahaya karena berpotensi mengubah wajah HMI dari organisasi ideologis menjadi organisasi administratif. Kegiatan yang seharusnya menumbuhkan nilai keislaman dan keindonesiaan menjadi acara rutin tanpa ruh.
Diskusi tidak lagi mengasah nalar, hanya menjadi agenda laporan. Perkaderan tidak lagi membentuk militansi, hanya menjadi tiket struktural. Jika ini dibiarkan, HMI akan kehilangan makna perjuangannya sebagai kawah candradimuka pembentuk insan cita.
Kaderisasi HMI: Jalan Panjang Menuju Kader Sejati
HMI sejak awal berdiri meletakkan proses kaderisasi sebagai jalan utama untuk mencetak pemimpin umat dan bangsa. Sistem kaderisasi yang dijalankan oleh HMI tidak hanya berfokus pada administrasi atau legalitas struktural semata, melainkan lebih pada pembentukan karakter dan kapasitas intelektual kader dalam kerangka ideologi Islam yang komprehensif.
HMI memandang kaderisasi sebagai sarana untuk membentuk insan yang tidak hanya terampil dalam berorganisasi, tetapi juga berjiwa kepemimpinan yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai agama dan kebangsaan.
Proses ini tidak dapat digantikan dengan cara instan, karena di dalamnya terkandung tujuan yang jauh lebih besar yakni mencetak pemimpin yang tidak hanya cakap dalam bidangnya, tetapi juga mampu mengarahkan bangsa ini menuju cita-cita bersama yang lebih adil dan sejahtera.
Setiap tingkatan pelatihan dalam HMI mulai dari Latihan Kader 1, Latihan Kader 2, hingga Latihan Kader 3 bukan sekadar tahapan administratif atau formalitas.
Lebih dari itu, setiap tahapan adalah ruang yang dirancang untuk mendewasakan cara berpikir, berorganisasi, dan bertindak. Kader HMI dilatih untuk tidak hanya mengenal teori-teori dasar Islam, tetapi juga untuk mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Proses ini menuntut setiap kader untuk memaknai setiap langkahnya, merenungi setiap keputusan yang diambil, dan menjalani setiap ujian dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
HMI bukanlah tempat untuk mencari status atau jabatan semata, tetapi merupakan medan bagi mereka yang berkomitmen untuk mendalami, memperjuangkan, dan menghidupkan nilai-nilai Islam dan kebangsaan dalam segala aspek kehidupan.
Kader yang serius berproses di HMI tidak hanya menjadi pemimpin di dalam organisasi, tetapi juga menjadi pemimpin yang visioner di masyarakat, pemerintahan, dan dunia usaha.
Sayangnya, realitas yang ada saat ini menunjukkan adanya pergeseran orientasi di kalangan kader HMI, khususnya generasi muda.
Banyak kader masa kini yang justru lebih terobsesi pada jabatan tanpa terlebih dahulu memahami nilai dasar dan ideologi yang menjadi landasan HMI. Banyak yang berpikir bahwa untuk menjadi pemimpin, mereka harus cepat mendapatkan posisi dalam struktur organisasi.
Padahal dalam HMI, posisi struktural bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya sarana untuk mengimplementasikan ideologi dan memperjuangkan nilai-nilai luhur. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang ideologi, jabatan hanya akan menjadi kulit luar yang kosong, tanpa isi dan tanpa arah yang jelas.
Pergeseran orientasi ini menciptakan ketimpangan antara aspirasi dan realitas. Jika dulu, kader HMI dipupuk dengan semangat untuk berjuang dan berkorban demi umat dan bangsa, kini banyak yang melihat HMI sebagai tempat untuk meraih status sosial atau popularitas belaka.
Mereka ingin cepat dikenal sebagai tokoh tanpa melalui perjalanan intelektual dan moral yang memadai. Mereka ingin memimpin, tetapi enggan mengikuti proses yang membentuk kedewasaan berpikir dan bertindak.
Tanpa pemahaman ideologis yang kuat dan kesadaran akan nilai dasar perjuangan, organisasi ini akan kehilangan arah.
Kader yang hanya mengejar jabatan tanpa memahami substansi perjuangan akan mudah terjebak dalam pragmatisme yang merugikan, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi organisasi.
Pada akhirnya, HMI akan kehilangan esensinya sebagai organisasi yang mencetak pemimpin yang berintegritas tinggi dan bertanggung jawab terhadap umat.
Perlu disadari bahwa HMI bukanlah tempat mencari popularitas atau kekuasaan. HMI adalah tempat menempa diri, tempat mengasah pemikiran, dan tempat belajar mengabdi.
Seorang kader yang tulus berproses dalam HMI akan sadar bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari jabatan yang dicapai, melainkan dari nilai yang dihidupi dan perubahan yang dihasilkan. “Tujuan HMI adalah membentuk insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.”
Pernyataan yang menegaskan bahwa HMI berdiri di atas nilai dan cita-cita besar, bukan sekadar aktivitas rutin organisasi. Jika kita melupakan proses, kita sedang mengkhianati tujuan luhur itu.
Evaluasi Diri: Peran Pengurus, Instruktur, dan Senior
Kita tidak bisa menyalahkan kader muda semata atas menurunnya semangat dalam berproses. Tantangan kaderisasi juga berakar pada bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh pengurus, instruktur, dan senior dalam melakukan pembinaan.
Pertanyaan nya Apakah kita sudah memberi ruang yang cukup bagi kader muda untuk mengaktualisasikan diri mereka? Apakah kita sebagai senior menjadi teladan dalam proses dan perjuangan? Apakah pendekatan yang kita lakukan relevan dengan kebutuhan zaman sekarang? Banyak kader muda merasa terpinggirkan atau tidak didengar.
Forum-forum perkaderan yang ada terasa kaku dan membosankan, bahkan terkadang hanya dianggap formalitas belaka. Hal ini membuat mereka kehilangan semangat, karena tidak melihat contoh nyata dari pengurus atau senior yang mereka harapkan.
Kaderisasi yang semestinya menjadi wadah pembentukan karakter justru berubah menjadi rutinitas yang tidak memberi makna.
Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih inklusif dan membangun dalam pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai, keteladanan, serta komunikasi horizontal yang menghargai dan mendengarkan suara kader muda.
Tanpa pendekatan ini, proses kaderisasi akan kehilangan substansinya dan hanya menjadi rutinitas kosong tanpa pembentukan karakter yang sesungguhnya.
Fenomena generasi instan dalam tubuh HMI bukan sekadar persoalan teknis kaderisasi. Ini adalah refleksi dari pergeseran nilai, perubahan cara pandang, dan melemahnya orientasi kader dalam memaknai makna sejati dari perjuangan.
Di tengah derasnya arus modernitas yang menawarkan kenyamanan dan kecepatan, banyak kader tergoda untuk mengambil jalan pintas menuju eksistensi, namun lupa bahwa HMI bukanlah organisasi biasa.
HMI adalah rumah besar pembentukan karakter, tempat nilai-nilai keislaman, intelektualitas, dan keindonesiaan disatukan dalam proses panjang yang mendidik jiwa dan membentuk kepemimpinan. Tanpa proses, tidak akan ada jiwa. Tanpa pengorbanan, tidak akan ada keberhasilan.
Inilah prinsip dasar yang selama ini menjadi fondasi berdirinya HMI. Organisasi ini bukan tempat untuk mencari pengakuan instan, melainkan medan latihan mental, spiritual, dan intelektual. HMI mencetak pemimpin bukan dengan pujian, tetapi dengan tempaan dengan forum-forum diskusi malam hari, kajian yang membakar semangat berpikir kritis, dan dinamika organisasi yang menguji ketangguhan jiwa.
Sebagaimana dikatakan oleh Anies Baswedan, salah satu tokoh muda nasional yang juga Alumni HMI: “Di HMI saya belajar bahwa idealisme itu bukan hanya ucapan, tapi pengorbanan”.
Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa idealisme tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari keberanian untuk tetap bertahan dalam proses, walau melelahkan dan kadang tidak terlihat.
Idealisme dalam HMI bukanlah jargon kosong, melainkan komitmen yang diwujudkan melalui kerja nyata dan kesabaran dalam mengikuti setiap tahap perkaderan. Sudah saatnya kita menolak budaya instan yang menggerus nilai perjuangan.
Sudah saatnya kita menghidupkan kembali semangat proses sebagai napas utama gerakan kaderisasi HMI. Mari bangun suasana yang menumbuhkan bukan menekan; suasana yang memberi ruang bukan membatasi; suasana yang menumbuhkan rasa memiliki bukan hanya rasa disuruh.
Sebab tidak ada kader besar yang lahir dalam semalam. Mereka dibentuk oleh waktu, oleh proses yang panjang, oleh malam-malam diskusi yang melelahkan, oleh tanggung jawab yang dijalani tanpa pamrih, dan oleh semangat juang yang tak pernah padam.
Jika kita ingin HMI tetap relevan dan kuat sebagai organisasi perjuangan, maka proses kaderisasi harus kembali menjadi arus utama, bukan sekadar kegiatan tahunan.
Kita harus memastikan bahwa setiap kader yang lahir adalah kader yang memahami nilai, menghayati proses, dan siap mengabdi. Hanya dengan cara itu, HMI akan terus melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang visioner, tangguh, dan berintegritas.
Untuk mengatasi fenomena generasi instan dalam tubuh HMI dan mengembalikan semangat kaderisasi yang sejati, dibutuhkan langkah konkret dan kolaboratif dari seluruh elemen organisasi, baik di tingkat komisariat, cabang, hingga alumni.
Beberapa saran berikut dapat menjadi langkah awal untuk menghidupkan kembali ruh perjuangan dalam HMI yaitu:
Revitalisasi Forum-Forum Kaderisasi
Forum diskusi, kajian ideologis, dan pelatihan kader harus kembali difungsikan sebagai ruang yang hidup, dinamis, dan membumi. Materi dan metode perlu disesuaikan dengan konteks zaman agar lebih relevan dan menarik bagi kader muda, tanpa kehilangan nilai dasar perjuangan.
Keteladanan Pengurus dan Senior
Pengurus, instruktur, dan alumni harus menjadi teladan dalam proses. Keteladanan lebih kuat daripada seribu kata. Kader muda akan lebih terinspirasi jika mereka melihat seniornya konsisten dalam nilai, disiplin dalam proses, dan rendah hati dalam membimbing.
Pendekatan Inklusif dan Partisipatif
HMI perlu membangun suasana pembinaan yang terbuka, menghargai gagasan kader muda, serta memberi mereka ruang aktualisasi. Pendekatan komunikasi dua arah harus diperkuat agar kader merasa dihargai dan dilibatkan dalam dinamika organisasi.
Penguatan Ideologi dan Literasi Organisasi
Kader harus dibekali dengan pemahaman mendalam tentang ideologi HMI, sejarah perjuangan, serta tantangan kontemporer. Ini penting agar mereka memiliki fondasi nilai yang kokoh dan tidak mudah goyah oleh godaan pragmatisme.
Monitoring dan Evaluasi Kaderisasi Secara Berkala
Kegiatan kaderisasi perlu dievaluasi secara rutin bukan hanya pada output jumlah kader, tetapi pada kualitas dan konsistensi prosesnya. Evaluasi ini penting agar pengurus dapat melakukan pembenahan metode secara tepat sasaran. (*)