KABUPATEN Lingga dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 yang secara tegas memberikan kewenangan otonom kepada daerah ini untuk mengelola urusan pemerintahan secara mandiri, sejalan dengan semangat desentralisasi.
Ketentuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menekankan prinsip pembangunan cepat, efisien, dan berorientasi pada aspirasi masyarakat lokal.
Namun, implementasi otonomi tersebut masih dihadapkan pada berbagai kendala struktural, khususnya ketimpangan infrastruktur dan lemahnya tata kelola, yang menjadi cerminan kurang optimalnya pelaksanaan desentralisasi di wilayah kepulauan ini.
Kabupaten Lingga, yang tersebar di gugusan pulau-pulau terpencil di Provinsi Kepulauan Riau, menghadapi tantangan geografis ekstrem yang memengaruhi distribusi pembangunan secara merata. Wilayah ini bergantung pada potensi ekonomi seperti perikanan, pertanian, dan perdagangan laut, yang seharusnya menjadi pilar pertumbuhan, tetapi terhambat oleh minimnya aksesibilitas antar pulau.
Ketidakmerataan infrastruktur dasar seperti jalan trans pulau, pelabuhan modern, dan jaringan air bersih—menyebabkan biaya logistik melonjak, minat investasi menurun, serta pendapatan masyarakat tetap rendah, sehingga memperlemah daya saing ekonomi daerah secara keseluruhan.
Ketimpangan infrastruktur tidak hanya memperlambat roda ekonomi, tetapi juga merusak kualitas pelayanan publik esensial bagi warga Kabupaten Lingga. Wilayah pinggiran yang terisolasi mengalami keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan administrasi pemerintahan, yang semestinya menjadi prioritas utama daerah otonom.
Kondisi ini memperlebar jurang kesenjangan sosial-ekonomi, di mana masyarakat di pulau-pulau terluar terus tertinggal, sementara pusat kabupaten relatif lebih maju, sehingga menghambat upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan indeks pembangunan manusia secara inklusif.
Pelaksanaan desentralisasi di Kabupaten Lingga terbentur pada keterbatasan sumber daya manusia berkualitas serta koordinasi antarinstansi yang lemah, yang berujung pada tumpang tindih kewenangan dan pemborosan anggaran.
Meskipun undang-undang memberikan mandat kuat untuk otonomi luas, realitas lapangan menunjukkan inkonsistensi kebijakan dan kurangnya profesionalisme dalam perencanaan serta evaluasi program pembangunan.
Oleh karena itu, reformasi mendesak diperlukan, meliputi penguatan kapasitas aparatur, harmonisasi koordinasi lintas sektor, serta alokasi pendanaan transparan yang memprioritaskan infrastruktur merata, termasuk kemitraan strategis dengan swasta untuk mempercepat pemulihan.
Penulis: Syukrianty Dwita Putri, Mahasiswa UMRAH, Prodi Ilmu Pemerintahan, NIM 2305010081






