Opini  

Kenapa Indonesia Gelap, Masyarakat Harus Tahu

Penulis: Ilham Bani Arrasyid, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat STAI

Belladina
Ilham Bani Arrasyid, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat STAI. Foto: Dok. Pribadi

Lintaskepri.com – Indonesia di Persimpangan: Antara Harapan dan Kenyataan Yang Kelam.

Hari ini, Indonesia seolah-olah berjalan dalam kegelapan. Harapan yang dahulu katanya habis gelap terbitlah terang perlahan meredup kembali di tengah kebijakan yang tidak efektif, korupsi yang semakin menjadi-jadi, serta ancaman terhadap demokrasi dan supremasi sipil.

Dari janji makan siang gratis yang jauh dari kata efektif, pendidikan yang tidak menjadi prioritas, munculnya kembali dwifungsi TNI-Polri, hingga korupsi yang tak kunjung berakhir terutama skandal korupsi Pertamax yang menguras kepercayaan publik semua ini membuat bangsa ini berada di persimpangan antara harapan dan keputusasaan.

Makan Siang Gratis: Janji Manis yang Tak Berdasar

Salah satu wacana kebijakan yang tampak manis di permukaan tetapi rapuh dalam eksekusi adalah program makan siang gratis. Sekilas, ini tampak sebagai kebijakan populis yang bertujuan membantu masyarakat miskin dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak di sekolah terutama mengatasi permasalahan stunting.

Namun, pertanyaannya adalah: dari mana anggaran sebesar Rp 450 triliun itu akan diambil?
Program ini terdengar baik, tetapi melihat realitas keuangan negara, program ini lebih terasa sebagai utopia atau angan-angan ketimbang kebijakan yang benar-benar solutif.

Dengan angka yang begitu besar, potensi kebocoran anggaran dan penyalahgunaan dana sangat tinggi. Selain itu, banyak daerah di Indonesia yang bahkan belum memiliki infrastruktur sekolah yang layak.

Apa gunanya makan siang gratis jika ruang kelas masih rusak, guru-guru digaji rendah, dan kualitas pendidikan tidak membaik?
Di banyak negara yang sukses menerapkan program serupa, seperti Jepang dan Finlandia, program makan siang gratis bukan hanya soal membagikan makanan, tetapi juga terkait dengan standar gizi, sistem distribusi yang efektif, dan dukungan terhadap petani lokal. Indonesia? sayangnya belum siap.

Lapangan Pekerjaan Lebih Penting daripada Makan Siang Gratis

Daripada menghamburkan anggaran untuk program makan siang gratis yang belum tentu efektif, seharusnya pemerintah lebih fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan.

Jika orang tua memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang cukup, maka anak-anak mereka tidak akan kelaparan dan tidak perlu bergantung pada makan siang gratis dari pemerintah.

Masalah utama di Indonesia saat ini bukan hanya soal makanan, tetapi ketidakstabilan ekonomi yang membuat banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Data menunjukkan bahwa tingkat pengangguran masih menjadi masalah serius, terutama di kalangan anak muda. Lulusan perguruan tinggi pun tidak terjamin mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya.

Banyak yang terpaksa bekerja di sektor informal dengan pendapatan tidak menentu, sementara biaya hidup terus meningkat. Ironisnya, alih-alih menciptakan lebih banyak lapangan kerja, kebijakan pemerintah justru sering menguntungkan oligarki dan investor besar tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerja.

Kebijakan seperti UU Cipta Kerja, misalnya, lebih banyak menguntungkan perusahaan dengan sistem kontrak dan outsourcing, sementara pekerja kehilangan kepastian kerja dan hak-haknya. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka tidak peduli seberapa banyak makan siang gratis yang diberikan, masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi tidak akan terselesaikan.

Pendidikan: Bukan Prioritas, Hanya Slogan Politik
Salah satu ironi terbesar di negeri ini adalah bagaimana pendidikan selalu dijadikan jargon politik, tetapi tidak pernah benar-benar menjadi prioritas.

Setiap tahun, anggaran pendidikan memang besar, tetapi alokasinya lebih sering tidak efektif. Banyak sekolah negeri yang masih kekurangan fasilitas, sementara sekolah swasta elit terus berkembang pesat dengan biaya pendidikan yang semakin mahal.

Selain itu, kualitas pendidikan kita semakin tertinggal dari negara-negara tetangga. Sistem pendidikan yang terlalu menekankan hafalan yang monoton ketimbang pemikiran kritis membuat sumber daya manusia terutama generasi muda sulit bersaing di tingkat global.

Alih-alih fokus pada pembangunan manusia, kebijakan pendidikan sering kali lebih mementingkan proyek fisik dan birokrasi yang berbelit.
Seharusnya, yang perlu diperbaiki adalah kualitas guru, kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman, serta akses pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat, bukan sekadar janji populis yang menghabiskan anggaran besar tanpa dampak signifikan.

Kembalinya Dwifungsi TNI-Polri: Ancaman bagi Demokrasi

Salah satu tanda kegelapan yang semakin nyata adalah semakin kuatnya keterlibatan TNI dan Polri dalam urusan sipil. Sejak Reformasi 1998, Indonesia berusaha keluar dari bayang-bayang militerisme dengan menghapus dwifungsi ABRI.

Namun, akhir-akhir ini, langkah mundur semakin terlihat dengan banyaknya pensiunan jenderal yang diberikan jabatan strategis di pemerintahan.
TNI dan Polri seharusnya fokus pada tugas utama mereka: menjaga pertahanan dan keamanan.

Namun, ketika mereka mulai terlibat dalam politik dan birokrasi, konflik kepentingan menjadi tak terhindarkan. Keberadaan mereka dalam pemerintahan sipil justru dapat menghambat demokrasi dan mengancam kebebasan sipil.

Lebih buruk lagi, banyak kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan tidak pernah benar-benar diselesaikan. Jika dwifungsi kembali dilegalkan secara sistematis, maka cita-cita reformasi akan semakin jauh dari kenyataan.

Korupsi yang Merajalela: Dari BLBI, Jiwasraya, Hingga Pertamax

Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar penyakit, tetapi sudah menjadi budaya di kalangan elit politik dan birokrat. Dari skandal BLBI, Jiwasraya, Asabri, hingga kasus-kasus suap di berbagai kementerian, semua ini menunjukkan bahwa perang melawan korupsi semakin sulit dimenangkan.

Kasus terbaru yang mencuat adalah korupsi di sektor BBM, terutama skandal Pertamax. Ketika harga BBM naik dengan alasan mengikuti harga pasar global, rakyat dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa subsidi dikurangi dan harga kebutuhan pokok ikut melonjak.

Namun, di balik itu, justru ada mafia yang bermain di sektor migas, meraup keuntungan besar dari praktik korupsi yang melibatkan pejabat negara dan pengusaha hitam.
Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral dan kepercayaan publik. Bagaimana mungkin rakyat diminta untuk hidup hemat dan menerima kenaikan harga BBM, sementara para elit terus memperkaya diri mereka sendiri dengan cara yang kotor?

Lebih parah lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seharusnya menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi justru semakin dilemahkan. Sejak revisi UU KPK pada 2019, lembaga ini kehilangan banyak taringnya.

Banyak kasus besar yang ditangani dengan setengah hati, sementara para koruptor dengan mudahnya mendapatkan keringanan hukuman atau bahkan bebas dengan cepat.

Indonesia hari ini berada di titik kritis. Kegagalan kebijakan populis seperti makan siang gratis, pengabaian sektor pendidikan, bangkitnya dwifungsi TNI-Polri, dan korupsi yang semakin sistematis adalah tanda bahwa negeri ini sedang bergerak ke arah yang berbahaya.

Makan siang gratis, yang diklaim sebagai solusi bagi rakyat, justru berpotensi menjadi proyek gagal yang menghabiskan anggaran besar tanpa hasil nyata. Pendidikan, yang seharusnya menjadi fondasi utama pembangunan bangsa, hanya dijadikan jargon politik tanpa perbaikan mendasar.

Sementara itu, militerisasi politik melalui dwifungsi TNI-Polri mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Dan lebih buruk lagi, korupsi, terutama di sektor energi seperti skandal Pertamax, menegaskan bahwa mafia ekonomi masih berkuasa dan menggerogoti kepercayaan publik.

#KaburAjaDulu: Fenomena Meninggalkan Indonesia

Belakangan ini, hastag #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial. Fenomena ini mencerminkan kekecewaan anak muda Indonesia terhadap situasi negara yang semakin tidak menjanjikan, baik dari segi ekonomi, politik, maupun sosial.

Banyak dari mereka merasa bahwa kesempatan di luar negeri lebih menjanjikan dibandingkan tetap bertahan di Indonesia yang penuh ketidakpastian. Ada beberapa faktor utama yang mendorong tren ini:

Kurangnya peluang kerja dan gaji yang rendah Banyak anak muda merasa bahwa bekerja di Indonesia tidak sepadan dengan usaha dan pendidikan yang telah mereka tempuh. Gaji yang ditawarkan sering kali jauh lebih rendah dibandingkan biaya hidup, sementara di luar negeri, tenaga kerja Indonesia bisa mendapatkan penghasilan yang lebih layak.

Ketidakpastian hukum dan politik
Korupsi yang merajalela, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, serta semakin menurunnya kualitas demokrasi membuat banyak orang merasa bahwa masa depan Indonesia semakin suram.

Lingkungan kerja yang toksik dan tidak menghargai keterampilan
Budaya kerja di banyak perusahaan di Indonesia masih cenderung mengeksploitasi pekerja dengan jam kerja panjang, beban kerja tinggi, tetapi tanpa kesejahteraan yang memadai.

Minimnya apresiasi terhadap talenta lokal, banyak anak muda berbakat yang lebih dihargai di luar negeri daripada di Indonesia. Ini membuat mereka lebih memilih mencari peluang di luar negeri daripada bertahan di dalam negeri yang kurang memberikan apresiasi.

Fenomena ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah. Jika negara ini tidak mampu menyediakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mudanya, maka brain drain atau migrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri akan semakin meningkat.

Indonesia bisa kehilangan banyak talenta terbaiknya, yang pada akhirnya akan memperlambat kemajuan bangsa ini sendiri. Pemerintah seharusnya melihat tren #KaburAjaDulu bukan hanya sebagai tren media sosial, tetapi sebagai sinyal bahwa ada masalah besar yang harus segera diselesaikan. Jika tidak, maka bukan hanya individu yang “kabur”, tetapi harapan untuk masa depan yang lebih baik juga akan semakin menjauh.

Jika masalah-masalah ini dibiarkan, Indonesia tidak hanya berjalan dalam kegelapan, tetapi juga menuju kemunduran demokrasi, stagnasi ekonomi, dan degradasi sosial yang lebih dalam serta tidak ada yang namanya bonus demografi apalagi Indonesia emas.

Meski situasi tampak gelap, Indonesia masih memiliki harapan. Namun, perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Indonesia masih memiliki potensi besar, tetapi jika masalah-masalah ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan kembali ke era otoritarianisme dan stagnasi ekonomi.

Kini saatnya rakyat bersuara, bukan hanya diam dan menerima keadaan. Karena jika tidak, maka kegelapan ini akan menjadi kenyataan yang permanen. (*)

Simak Berita Terbaru Langsung di Ponselmu! Bergabunglah dengan Channel WhatsApp Lintaskepri.com disini