Lintaskepri.com, Tanjungpinang – Di tengah ragam kuliner Nusantara yang kaya warna dan cita rasa, Rawon menempati posisi istimewa. Hidangan berkuah hitam pekat ini bukan sekadar makanan, melainkan jejak sejarah dan identitas budaya masyarakat Jawa Timur yang telah bertahan berabad-abad. Rawon dipercaya berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuno, sekitar abad ke-10 Masehi. Catatan sejarah menunjukkan bahwa hidangan serupa Rawon sudah dikenal di masa pemerintahan Raja Balitung di Jawa Tengah, namun kemudian berkembang dan mengakar kuat di wilayah Jawa Timur, terutama di Surabaya dan sekitarnya. Keunikan utama Rawon terletak pada warna hitam kuahnya yang berasal dari kluwek biji buah pohon kepayang yang telah difermentasi. Bumbu khas inilah yang memberikan rasa gurih, legit, dan sedikit pahit yang menonjol, menjadikan Rawon berbeda dari sup daging lainnya di dunia.
Rawon umumnya menggunakan daging sapi bagian sandung lamur atau brisket, yang dimasak bersama racikan bumbu halus berisi bawang merah, bawang putih, ketumbar, lengkuas, jahe, serta cabai. Semua berpadu menghasilkan aroma khas yang kuat.
Tak hanya lezat, Rawon juga sarat makna filosofi. Warna hitamnya sering dimaknai sebagai simbol kesederhanaan dan keteguhan masyarakat Jawa Timur bahwa keindahan tidak selalu tampak dari luar, tetapi dari cita rasa dan nilai yang tersembunyi di dalamnya. Sebenarnya, buah ini beracun dan bisa membuat mabuk jika kamu memakannya dalam kondisi mentah. Dari sana lah lahir istilah “mabuk kepayang”. Karena itu, kamu perlu melakukan fermentasi terlebih dulu sebelum memasak buah kluwek. Ini termasuk ketika kamu memasaknya sebagai rawon.
Bahkan, Rawon pernah dinobatkan sebagai sup terenak di dunia versi TasteAtlas, sebuah situs kuliner internasional, yang menempatkan hidangan khas Jawa Timur ini di posisi kedelapan pada tahun 2025. Pengakuan ini semakin mengukuhkan Rawon sebagai ikon kuliner Indonesia di mata dunia.
Lebih dari sekadar makanan, Rawon adalah cerita panjang tentang tradisi, rasa, dan kebanggaan lokal. Sebagaimana kata pepatah Jawa, “Opo sing peteng ora mesthi ora becik,” yang gelap belum tentu buruk. Dalam sepiring Rawon, kegelapan justru menghadirkan kelezatan yang abadi.






