Lintaskepri.com, Jakarta – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, masyarakat Indonesia menghadapi dua ancaman besar yang terus mengintai, judi online (judol) dan pinjaman online ilegal (pinjol ilegal).
Kedua praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menghancurkan kehidupan pribadi, rumah tangga, tatanan sosial, bahkan masa depan bangsa secara keseluruhan.
Judi online berkembang sangat cepat lewat berbagai platform, mulai dari situs web hingga aplikasi yang mudah diakses oleh siapa saja.
Kemudahannya menjadi jebakan bagi banyak orang, terutama generasi muda, yang tergoda oleh janji kemenangan instan.
Padahal, di balik layar, sistem judi online didesain agar pemain lebih sering kalah. Korban tidak hanya kehilangan materi, tetapi juga terjebak dalam kecanduan yang berujung pada stres, depresi, hingga tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, bahkan bunuh diri.
Seiring meningkatnya kebutuhan ekonomi, layanan pinjaman digital memang menjadi alternatif yang dibutuhkan.
Namun, banyak masyarakat terperosok ke dalam jeratan pinjaman daring ilegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pinjaman ilegal menawarkan proses cepat tanpa syarat, tapi mengenakan bunga mencekik dan denda harian yang tidak masuk akal.
Praktik intimidasi, penyebaran data pribadi, dan teror psikologis kepada peminjam serta keluarganya sangat meresahkan.
Banyak kasus menunjukkan peminjam yang awalnya hanya butuh dana kecil, berakhir harus membayar hingga belasan juta rupiah dalam waktu singkat. Tekanan berat ini bahkan menyebabkan beberapa korban memilih jalan tragis.
Judol dan pinjol ilegal ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama merusak kondisi finansial dan mental korban.
Ketika kecanduan judi sudah mengikat dan dana habis, banyak yang terpaksa beralih ke pinjol ilegal untuk modal “bermain” berikutnya.
Pinjol ilegal yang menawarkan pencairan cepat tanpa prosedur rumit menjadi jebakan baru dengan bunga tinggi dan ancaman yang terus menghantui.
Yang paling mengkhawatirkan, korban kedua praktik ini tidak terbatas pada kelompok ekonomi tertentu.
Pelajar, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, hingga pensiunan — semua rentan jika tidak memiliki literasi digital dan finansial memadai.
Banyak kisah tragis bermula dari “sekadar coba-coba” dan kebutuhan mendesak, namun berujung pada masalah berat dan sulit diatasi.
Menurut data terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi judi online bahkan melibatkan anak-anak usia 10 tahun ke atas.
Pada kuartal I-2025, deposit judi online dari pemain usia 10-16 tahun mencapai lebih dari Rp2,2 miliar.
Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar, sedangkan usia 31-40 tahun paling tinggi dengan Rp2,5 triliun.
Data ini memperlihatkan bagaimana judi online sudah menjerat generasi muda yang seharusnya menjadi aset masa depan bangsa.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyatakan bahwa angka-angka tersebut mencerminkan dampak sosial serius, seperti konflik rumah tangga, prostitusi, dan pinjaman online ilegal.
“Meski ada penurunan transaksi judi online sekitar 80 persen pada kuartal I-2025 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya, PPATK memperingatkan bahwa tanpa intervensi serius, perputaran dana judi online bisa mencapai Rp1.200 triliun hingga akhir tahun,” jelasnya.
Satgas Pemberantasan Judi Online yang melibatkan Menko Polkam, Polri, Kominfo, OJK, Bank Indonesia, dan PPATK, telah membekukan lebih dari 5.000 rekening terkait judi online dengan nilai transaksi mencapai Rp600 miliar.
Di bidang pinjaman ilegal, OJK dan Satgas PASTI sudah menghentikan lebih dari 1.100 entitas pinjaman daring ilegal dan memblokir ribuan nomor penagih ilegal.
Namun, penindakan saja tidak cukup. Pemerintah menegaskan pentingnya sinergi dengan lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan media untuk membangun literasi digital dan finansial sejak dini.
OJK telah menyelenggarakan ribuan kegiatan edukasi keuangan dengan jutaan peserta. Platform digital seperti Sikapi Uangmu dan Learning Management System Edukasi Keuangan turut membantu meningkatkan kesadaran masyarakat.
Program literasi keuangan yang melibatkan lebih dari 81 juta peserta pada Januari-Mei 2025 menunjukkan langkah positif dalam pemberdayaan masyarakat.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan pentingnya pembekalan pengelolaan keuangan bagi anak muda sejak dini.
“Hal ini agar mereka dapat menjadi generasi yang cakap secara digital dan bijak secara finansial,” jelasnya.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menekankan bahwa pengawasan dan pendampingan orang tua serta guru sangat vital untuk menjaga anak dari bahaya judi online dan pinjol ilegal.
“Edukasi literasi digital sejak dini menjadi tameng utama melawan konten negatif dan praktik ilegal tersebut,” katanya.(*)






