
Bintan, LintasKepri.com – Nama Tambelan memang sempat mencuat secara internasional berkat Pulau Pejantan yang menyimpan misteri penemuan 350 spesies baru oleh lembaga penelitian asal Jepang yaitu Institute of Critical Zoologist (ICZ) pada 2005-2009 silam.
Bahkan tim ekspedisi yang dikirim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan awal 2017 untuk melakukan survei terhadap salah satu pulau di Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri tersebut turut menemukan beberapa spesies baru.
Terkait hal itu, secara ilmiah Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang Prof Dr Syafsir Akhlus, M.Sc sempat menyatakan temuan tersebut dapat membuat Tambelan secara khusus dan Kepri umumnya berpotensi memiliki biodiversifikasi (keanekaragaman hayati) laut yang lengkap dan tertinggi di dunia, di samping biodiversifikasi darat terlengkap di Brazil.
Akan tetapi Tambelan tidaklah menjadi berlian yang dijaga dengan baik oleh masyarakatnya. Melainkan dirusak oleh tangan anak pulau itu sendiri secara gerilya melakukan pengrusakan di perairan yang kaya dengan hasil perikanan tersebut.
Strategi gerilya yang sebelumnya ditenarkan oleh Jenderal Soedirman ketika melawan Belanda dulu. Kini dipakai bukan untuk mengusir penjajah, melainkan untuk menggempur laut Tambelan.
Antara lain penggunaan bom ikan. Aksi keji menangkap ikan yang dikecam negara ini justru dilakukan oleh nelayan tempatan secara diam-diam tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan yang ditimbulkan dari bahan peledak tersebut.
Secara lisan, laporan pengeboman selalu terdengar. Salah satunya berdasarkan pengakuan dari Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kecamatan Tambelan Provinsi Kepri Syamsudin Zainuddin.
Syamsudin yang diakui masyarakat Tambelan sebagai ketua nelayan selama 20 tahun tersebut mengaku aksi pengeboman ikan kerap terjadi. Namun, tidak ada yang berani menjadi saksi mata dikarenakan pertimbangan sosial kemasyarakatan.
“Laporan tentang aksi pengeboman ikan memang sering sampai di telinga, namun tidak ada yang berani menjadi saksi untuk dilakukannya tindak lanjut terhadap perkara pengeboman itu sesuai hukum yang berlaku di Indonesia,” tegas Syamsudin.
Menurut dia, upaya pencegahan terhadap aksi pengeboman ikan di perairan Tambelan sudah dilakukan sejak lama. Dalam hal ini, HNSI Tambelan pernah terlibat dalam tim terpadu pengawasan aktifitas pengeboman.
Akan tetapi, tim yang diharapkan bisa memberantas aksi pengeboman ikan, tidak efektif disebabkan keterbatasan personil dan armada.
Sementara itu, dari sudut pandang nelayan, ia menilai lemahnya pegawasan terhadap aksi pengeboman juga dikarenakan pecahnya kekompakan dari masyarakat Tambelan secara mandiri yang telah dirusak oleh faktor ekonomi.
“Ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan pengeboman di perairan Tambelan,” ujarnya.

Syamsudin mengatakan bahwa, dampak yang ditimbulkan ulah meledaknya bom di laut tidak hanya mematikan ikan ukuran layak tangkap. Namun juga membinasakan jutaan bibit ikan yang secara mubazir dibunuh lalu dibiarkan membusuk di laut.
Menurut dia, Tambelan yang dulu sangat mudah nelayan mendapatkan ikan, kini menjadi suatu hal yang sulit.
Pada wawancara terpisah, seorang nelayan Tambelan yang enggan namanya disebut menyatakan bahwa benerapa bulan lalu ia sempat melihat aktifitas pengeboman ikan di perairan Tambelan, terutama pada musim angin utara yakni ketika gelombang kuat dan angin kencang.
“Tepatnya pada musim angin utara, karena pada musim ini kapal patroli sulit beroperasi,” ujarnya.
Nelayan ini mengaku musim utara sangat menguntungkan bagi pengebom ikan. Karena, selain jumlah ikan yang melimpah pada musim tersebut, tingginya gelombang juga menghambat kapal patroli beroperasi.
Minimnya rasa cinta masyarakat tempatan terhadap potensi kelautan dan perikanan di Kecamatan Tambelan juga terlihat pada perkara lain, yaitu pembiusan ikan menggunakan Potas atau Potasium Sianida.
Kembali ke HNSI Tambelan, Syamsudin mengungkapkan bahwa selain maraknya geriliya pengeboman ikan, aksi pembiusan masih terjadi dan turut menghancurkan Tambelan dari kedalaman laut biru.
Kata Syamsudin, penggunaan Potas sebagai bahan kimia untuk meracun ikan lebih kronis ketimbang penggunaan bom untuk menangkap ikan.
Ia menjelaskan bahwa gerilya pengrusakannya dilakukan berkedok aktifitas penembak ikan. Artinya, para penembak ikan disinyalir membawa racun tersebut ketika melakukan penyelaman untuk membius ikan yang memiliki nilai jual tinggi, seperti kerapu dan lain sebagainya.
“Karena ikan kerapu jauh lebih mahal dijual dalam kondisi hidup, dari pada dijual dalam kondisi mati,” ujarnya.
HNSI Tambelan selalu mencurigai aktifitas menembak ikan, bahkan kecurigaan tersebut hampir timbul setiap harinya. Sebab, menangkap ikan secara tembak merupakan salah satu mata pencaharian nelayan Tambelan.
Syamsudin menceritakan bahwa secara teknis, menembak ikan dilakukan pada malam hari. Hal ini dilakukan karena ikan memiliki waktu istirahat, dan berburu pada malam hari justru jauh lebih mudah dari pada di siang hari.
“Memang sasarannya adalah ikan secara umum, akan tetapi secara khusus di dasar laut penyelam acap kali menemukan ikan yang memiliki nilai jual tinggi ketika dijual dalam kondisi hidup tanpa ada cacat, seperti kerapu, napoleon dan lain sebagainya,” papar Syamsudin.
Oleh sebab itu, ia berasumsi bahwa ikan berharga yang berhasil ditangkap para penembak ikan diperoleh dengan cara dibius, meskipun mungkin tidak semuanya diperoleh dengan cara tersebut.
Menurut dia, upaya pencegahan penggunaan Potas juga sudah pernah dilakukan. Tetapi, tidak bisa dibuktikan secara transparan karena aksi itu dilakukan jauh dari jangkauan.
Syamsudin mengaku pembiusan ikan memang sudah lama terjadi di Tambelan. Tapi, perbedaan orang jaman dulu menggunakan Akar Tuba untuk membius ikan, dengan kata lain bahan yang digunakan adalah herbal dari alam.
Beda dengan saat ini, bius ikan yang dipakai berbahan kimia atau disebut Potas yang peruntukan awalnya adalah racun serangga tapi digunakan untuk meracun ikan.
Terkait hal itu, HNSI mengaku banyaknya kerusakan alam laut Tambelan yang disebabkan Potas sudah tidak mampu lagi untuk dihitung, karena kimia tersebut tidak hanya merusak ikan tetapi juga terumbu karang.
“Karena penyebaran racun tersebut akan lebih luas di dalam air bila terbawa arus laut,” tegasnya.
Dalam hal ini, HNSI Tambelan meminta pemerintah pusat untuk turun langsung ke Tambelan melakukan fungsi pengawasan secara maksimal. Karena, bila tidak segera dilakukan upaya pencegahan, maka potensi alam laut Tambelan hanya menjadi legenda.
(mamas)